Kebijakan sertifikasi guru itu bagus sebagai peningkatan kualitas dan kesejahteraan. Tetapi karena mental materistis dan malas, kebijakan tersebut memunculkan tradisi berburu sertifikat, bukan ilmu. Bukan tidak mungkin munculnya kurikulum 2013 dengan berbagai perubahan saat ini akan menyuburkan kegiatan-kegiatan tentang pembahasan kurikulum yang hanya sekedar polesan tidak sampai pada inti.
Saat ini dibutuhkan “guru-guru sejati” yang layak “digugu’ dan “ditiru” yang cinta berkorban untuk bangsanya. Tidak terbatas pada kegiatan pendidikan di lembaga formal tetapi keteladanan dari masyarakat dan pejabat publik. Masyarakat terlalu sering melihat berbagai paradok yang terjadi di bangsa kita. Bagaimana murid bisa berkarakter jika setiap hari melihat para pejabat mengumbar kata-kata tanpa amal nyata; bagaimana anak-anak akan mencntai gurunya bila setiapa hari melihat para pejabat banyak menjadi tersangka kasus korupsi dan memenuhi penjara; bagaimana mungkin anak didik mau berlaku jujur, kerja keras, berani berkorban dan hidup sederhana jika setiap hari mereka disuguhi dengan berita-berita kebohongan publik, korupsi, atau pamer kekayaan.
Bangsa Cina bisa maju sebagai hasil pendidikan karakter, padahal negaranya berasaskan komunis-sosialis. Mereka bisa menjadi pribadi yang jujur, pekerj keras, berani, bertanggung jawab, mencintai kebersihan, dan sebagainya. Bagaimana dengan bangsa kita yang religius dan Pancasilais? Dimana letak perbedaannya? Bedanya pada konsep keberadaban. Yang diperlukan oleh bangsa Indonesia bukan hanya menjadi pribadi yang berkarakter, tetapi juga pribadi yang beradab.
Menurut Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, pakar filsafat dan sejarah Melayu, adab adalah pengenalan dan pengakuan terhadap hak dan kedudukan seseorang sesuai harkat dan martabatnya, merupakan hakikat secara alamiah. Pengenalan adalah ilmu; dan pengakuaan adalah amal. Maka pengenalan tanpa pengakuan seperti ilmu tanpa amal, dan pengakuan tanpa pengenalan seperti amal tanpa ilmu. Yang pertama mengisyaratkan keingkaran dan kesombongan, sedangkan yang kedua mengisyaratkan ketidak sadaran dan kebodohan.
Begitu pentingnya masalah adab ini, maka bisa dikatakan bahwa maju mundurnya bangsa Indonesia tergantung sejauhmana mereka dapat memahami dan menerapkan konsep adab ini dalam kehidupan mereka. Manusia yang beradab kepada orang lain akan paham sebagaimna mengenali dan mengakui seseorang sesuai harkat dan martabatnya. Dalam masyarakat yang beradab, pejabat yang korup tidak akan lebih dihormati ketimbang guru yang ikhlas mengabdi tanpa diberi tunjangan yang layak oleh pemerintah.
Adab, bukan yang berarti siksa (‘adzab), juga berkaitan dengan ketauhidan (keimanan dan ketakwaan ) kepada Tuhan YME, kepada para Rasul, para guru (ulama) dan umara. Maka sangatlah keliru jika seorang pendidik merasa lebih rendah martabatnya dari pada pejabat. Adab adalah kemampuan dan kemauan untuk mengenali segala sesuatu sesuai dengan martabatnya.
Jadi, sudah sepatutnya dunia pendidikan kita sangat menekankan proses ta’dib, sebuah proses pendidikan yang mengarahkan peserta didik menjadi orang-orang yang beradab. Sebab jika adab hilang pada diri seseorang, maka akan mengakibatkan kezaliman, kebodohan dan menuruti hawa nafsu yang merusak. Karena itu adab mesti ditanamkn pada seluruh manusia dalam berbagai lapisan, pada peserta didik, pendidik, pemimpin rumah tangga, pemimpin bisnis, pemimpin masyarakat dan lainnya.
Orang yang beradab idak akan pernah menyepelekan arti ilmu, belajar atau mengajarkannya untuk kemaslahatan bangsa. Jika penggunaan ilmu untuk tujuan-tujuan pragmatis duniawi an sich, maka tindakan itu termasuk kategori “tidak beradab” alias ”biadab. Jadi, setiap orang harus menjalani pendidikan karakter, sekaligus menjadikan dirinya menjadi manusia yang beradab, Alhamdulillah, salah satu bukti perhatian dan keseriusan pemerintah program mencetak manusia berkarakter dan beradab ini masuk dalam program Pendidikan Nasional serta diwujudkan melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter, sesuai dengan sila kedua Pancasila: Kemanusiaan yang Adil dan beradab.
Saat ini dibutuhkan “guru-guru sejati” yang layak “digugu’ dan “ditiru” yang cinta berkorban untuk bangsanya. Tidak terbatas pada kegiatan pendidikan di lembaga formal tetapi keteladanan dari masyarakat dan pejabat publik. Masyarakat terlalu sering melihat berbagai paradok yang terjadi di bangsa kita. Bagaimana murid bisa berkarakter jika setiap hari melihat para pejabat mengumbar kata-kata tanpa amal nyata; bagaimana anak-anak akan mencntai gurunya bila setiapa hari melihat para pejabat banyak menjadi tersangka kasus korupsi dan memenuhi penjara; bagaimana mungkin anak didik mau berlaku jujur, kerja keras, berani berkorban dan hidup sederhana jika setiap hari mereka disuguhi dengan berita-berita kebohongan publik, korupsi, atau pamer kekayaan.
Bangsa Cina bisa maju sebagai hasil pendidikan karakter, padahal negaranya berasaskan komunis-sosialis. Mereka bisa menjadi pribadi yang jujur, pekerj keras, berani, bertanggung jawab, mencintai kebersihan, dan sebagainya. Bagaimana dengan bangsa kita yang religius dan Pancasilais? Dimana letak perbedaannya? Bedanya pada konsep keberadaban. Yang diperlukan oleh bangsa Indonesia bukan hanya menjadi pribadi yang berkarakter, tetapi juga pribadi yang beradab.
Menurut Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, pakar filsafat dan sejarah Melayu, adab adalah pengenalan dan pengakuan terhadap hak dan kedudukan seseorang sesuai harkat dan martabatnya, merupakan hakikat secara alamiah. Pengenalan adalah ilmu; dan pengakuaan adalah amal. Maka pengenalan tanpa pengakuan seperti ilmu tanpa amal, dan pengakuan tanpa pengenalan seperti amal tanpa ilmu. Yang pertama mengisyaratkan keingkaran dan kesombongan, sedangkan yang kedua mengisyaratkan ketidak sadaran dan kebodohan.
Begitu pentingnya masalah adab ini, maka bisa dikatakan bahwa maju mundurnya bangsa Indonesia tergantung sejauhmana mereka dapat memahami dan menerapkan konsep adab ini dalam kehidupan mereka. Manusia yang beradab kepada orang lain akan paham sebagaimna mengenali dan mengakui seseorang sesuai harkat dan martabatnya. Dalam masyarakat yang beradab, pejabat yang korup tidak akan lebih dihormati ketimbang guru yang ikhlas mengabdi tanpa diberi tunjangan yang layak oleh pemerintah.
Adab, bukan yang berarti siksa (‘adzab), juga berkaitan dengan ketauhidan (keimanan dan ketakwaan ) kepada Tuhan YME, kepada para Rasul, para guru (ulama) dan umara. Maka sangatlah keliru jika seorang pendidik merasa lebih rendah martabatnya dari pada pejabat. Adab adalah kemampuan dan kemauan untuk mengenali segala sesuatu sesuai dengan martabatnya.
Jadi, sudah sepatutnya dunia pendidikan kita sangat menekankan proses ta’dib, sebuah proses pendidikan yang mengarahkan peserta didik menjadi orang-orang yang beradab. Sebab jika adab hilang pada diri seseorang, maka akan mengakibatkan kezaliman, kebodohan dan menuruti hawa nafsu yang merusak. Karena itu adab mesti ditanamkn pada seluruh manusia dalam berbagai lapisan, pada peserta didik, pendidik, pemimpin rumah tangga, pemimpin bisnis, pemimpin masyarakat dan lainnya.
Orang yang beradab idak akan pernah menyepelekan arti ilmu, belajar atau mengajarkannya untuk kemaslahatan bangsa. Jika penggunaan ilmu untuk tujuan-tujuan pragmatis duniawi an sich, maka tindakan itu termasuk kategori “tidak beradab” alias ”biadab. Jadi, setiap orang harus menjalani pendidikan karakter, sekaligus menjadikan dirinya menjadi manusia yang beradab, Alhamdulillah, salah satu bukti perhatian dan keseriusan pemerintah program mencetak manusia berkarakter dan beradab ini masuk dalam program Pendidikan Nasional serta diwujudkan melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter, sesuai dengan sila kedua Pancasila: Kemanusiaan yang Adil dan beradab.
0 Komentar:
Post a Comment