MEMBANGUN MANUSIA BERKARAKTER DAN BERADAB
Asep Saefulmillah Pengawas Madrasah Kemenag Kabupaten Tasikmalaya |
Banyak pendidik percaya bahwa karakter suatu bangsa terkait dengan prestasi yang diraih oleh bangsa itu dalam berbagai bidang kehidupan. Pernyataan ini terbukti di Cina setelah menerapkan pendidikan karakter sejak awal tahun 1980-an. Li Lanqing dalam bukunya “Educations For 1.3 Billion” yang menjelaskan reformasi pendidikan yang dijalankan di negaranya menulis: “After we practice, the character education has become the consensus of educators and people from all walks of life across this nation. It is being advanced in a comprehensive way.”
Menurut Mantan Wakil PM China tersebut, pendidikan karakter adalah untuk membangun budi pekerti melalui proses knowing the good, loving the good and acting the good. Maksudnya, proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, emosi, dan fisik, sehingga akhlak mulia bisa terukir menjadi habit of the mind, heart, and hands. Orang yang berkarakter tidak melaksanakn suatu aktivitas karena takut akan hukuman, tetapi karena mencintai kebaikan (loving the good). Karena cinta itulah, maka muncul keinginan untuk berbuat baik ( desiring the good).
Pendidikan karakter memerlukan keterlibatan semua aspek dimensi manusia. Tentunya hal ini tidak sesuai dengan sistem pendidikan yang terlalu menekankan pada aspek hapalan dan orientasi untuk lulus ujian. Pendidikan karakter bertujuan untuk membentuk setiap pribadi menjadi insan yang berkeutamaan. Objek penilaiannya adalah perilaku seseorang, bukan pemahamannya, Oleh karena itu, agama dan kesadaran religius merupakan motivator utama keberhasilan pendidikan karakter.
Ketika pudarnya nilai-nilai keutamaan pada pendidikan kita, bangsa Indnesia perlu mereformasi dan meredefinisi model pendidikan karakter. Dahulu di sekolah-sekolah diberikan pendidikan karakter bangsa seperti pendidikan budi pekerti, Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang selanjutnya berubah menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Namun dalam perkembangannya tidak berhasil secara oftimal karena adanya pemaksaan konsep yang sekularistik dan kurang seriusnya aspek pengalaman, dan lebih penting, tidak ada contoh dan keteladanan.
Ketika didengung-dengungkan pendidikan karakter tetapi tidak berbanding lurus dengan yang terjadi di lapangan. Ujian nasional (UN), misalnya, itu bagus sebagi salah satu jenis evaluasi hasil pembelajaran secara nasional dan penentu kelulusan, tetapi di lapangan kerap disiati agar seluruh siswanya bisa lulus dengan nilai yang memuaskansebab tuntutan pejabat dan orang tua. Disini guru dibuat sangat tidak berdaya.
Kebijakan sertifikasi guru itu bagus sebagai peningkatan kualitas dan kesejahteraan. Tetapi karena mental materistis dan malas, kebijakan tersebut memunculkan tradisi berburu sertifikat, bukan ilmu. Bukan tidak mungkin munculnya kurikulum 2013 dengan berbagai perubahan saat ini akan menyuburkan kegiatan-kegiatan tentang pembahasan kurikulum yang hanya sekedar polesan tidak sampai pada inti.
Saat ini dibutuhkan “guru-guru sejati” yang layak “digugu’ dan “ditiru” yang cinta berkorban untuk bangsanya. Tidak terbatas pada kegiatan pendidikan di lembaga formal tetapi keteladanan dari masyarakat dan pejabat publik. Masyarakat terlalu sering melihat berbagai paradok yang terjadi di bangsa kita. Bagaimana murid bisa berkarakter jika setiap hari melihat para pejabat mengumbar kata-kata tanpa amal nyata; bagaimana anak-anak akan mencntai gurunya bila setiapa hari melihat para pejabat banyak menjadi tersangka kasus korupsi dan memenuhi penjara; bagaimana mungkin anak didik mau berlaku jujur, kerja keras, berani berkorban dan hidup sederhana jika setiap hari mereka disuguhi dengan berita-berita kebohongan publik, korupsi, atau pamer kekayaan.
Bangsa Cina bisa maju sebagai hasil pendidikan karakter, padahal negaranya berasaskan komunis-sosialis. Mereka bisa menjadi pribadi yang jujur, pekerj keras, berani, bertanggung jawab, mencintai kebersihan, dan sebagainya. Bagaimana dengan bangsa kita yang religius dan Pancasilais? Dimana letak perbedaannya? Bedanya pada konsep keberadaban. Yang diperlukan oleh bangsa Indonesia bukan hanya menjadi pribadi yang berkarakter, tetapi juga pribadi yang beradab.
Menurut Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, pakar filsafat dan sejarah Melayu, adab adalah pengenalan dan pengakuan terhadap hak dan kedudukan seseorang sesuai harkat dan martabatnya, merupakan hakikat secara alamiah. Pengenalan adalah ilmu; dan pengakuaan adalah amal. Maka pengenalan tanpa pengakuan seperti ilmu tanpa amal, dan pengakuan tanpa pengenalan seperti amal tanpa ilmu. Yang pertama mengisyaratkan keingkaran dan kesombongan, sedangkan yang kedua mengisyaratkan ketidak sadaran dan kebodohan.
Begitu pentingnya masalah adab ini, maka bisa dikatakan bahwa maju mundurnya bangsa Indonesia tergantung sejauhmana mereka dapat memahami dan menerapkan konsep adab ini dalam kehidupan mereka. Manusia yang beradab kepada orang lain akan paham sebagaimna mengenali dan mengakui seseorang sesuai harkat dan martabatnya. Dalam masyarakat yang beradab, pejabat yang korup tidak akan lebih dihormati ketimbang guru yang ikhlas mengabdi tanpa diberi tunjangan yang layak oleh pemerintah.
Adab, bukan yang berarti siksa (‘adzab), juga berkaitan dengan ketauhidan (keimanan dan ketakwaan ) kepada Tuhan YME, kepada para Rasul, para guru (ulama) dan umara. Maka sangatlah keliru jika seorang pendidik merasa lebih rendah martabatnya dari pada pejabat. Adab adalah kemampuan dan kemauan untuk mengenali segala sesuatu sesuai dengan martabatnya.
Jadi, sudah sepatutnya dunia pendidikan kita sangat menekankan proses ta’dib, sebuah proses pendidikan yang mengarahkan peserta didik menjadi orang-orang yang beradab. Sebab jika adab hilang pada diri seseorang, maka akan mengakibatkan kezaliman, kebodohan dan menuruti hawa nafsu yang merusak. Karena itu adab mesti ditanamkn pada seluruh manusia dalam berbagai lapisan, pada peserta didik, pendidik, pemimpin rumah tangga, pemimpin bisnis, pemimpin masyarakat dan lainnya.
Orang yang beradab idak akan pernah menyepelekan arti ilmu, belajar atau mengajarkannya untuk kemaslahatan bangsa. Jika penggunaan ilmu untuk tujuan-tujuan pragmatis duniawi an sich, maka tindakan itu termasuk kategori “tidak beradab” alias ”biadab. Jadi, setiap orang harus menjalani pendidikan karakter, sekaligus menjadikan dirinya menjadi manusia yang beradab, Alhamdulillah, salah satu bukti perhatian dan keseriusan pemerintah program mencetak manusia berkarakter dan beradab ini masuk dalam program Pendidikan Nasional serta diwujudkan melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter, sesuai dengan sila kedua Pancasila: Kemanusiaan yang Adil dan beradab.
Silahkan Baca juga:
Advertisement
0 Komentar:
Post a Comment