Nada dan Suasana
Ada dua hal yang menjadi poin disini, yaitu nada dan
suasana. Nada adalah sikap penyair terhadap pembaca sedangkan suasana adalah
keadaan jiwa pembaca setelah membaca puisi, atau akibat psikologis yang timbul
pada pembaca (Waluyo, 1987 : 125). Nada yang terkandung dalam puisi ini adalah
bersifat religius, karena seperti yang diungkapkan penulis di atas bahwa puisi
ini bertema tentang religius dan bersifat sufistik. Sedangkan suasana yang
dirasakan pembaca dari membaca puisi adalah suasana khusyuk yang bergitu
mendalam, dengan mengikuti proses pencarian Tuhan dan diri dari penyair.
Amanat
Amanat yang ingin disampaikan oleh penyair dari puisi ini
adalah jangan berhenti untuk mencari Tuhan, karena Tuhan ada di diri manusia
dan carilah ketenangan bersama Tuhan karena dengan mengenal Tuhan maka dunia
dan segala isinya menjadi sesuatu yang fana dan tidak berarti.
Membedah puisi Tahajud (2) dengan
metode Semiotika
Prosedur pendekatan Semiotik
Banyak ahli yang mengemukakan tentang prosedur atau
langkah kerja yang dapat dilaksanakan delam meneliti karya sastra dengan
mengacu pada teori semiotik. Rolan Barthes sebagai tokoh semiotik dari prancis,
mengajukan sebuah teori tentang penganalisisan karya sastra dengan menggunakan
pendekatan semiotik ini. Dia menganalisis karya sastra dengan pendekatan
semiotik dengan menggunakan lima sistem kode bahasa.
Prosedur kerja teori Bhartes ini sebagai mana yang
dikemukakan oleh Suwondo (2003:87), adalah dalam memahami makna teks sastra,
Bharte pertama-tama membedah teks baris demi baris. Baris demi baris itu
dikonsentrasikan menjadi satuan-satuan makna sendiri. Setelah satuan makna
diperoleh, Bhartes kemudian mencoba mengklasifikasikan dan merangkum ke dalam
lima sistem kode yang memperhatikan setiap aspek signifikan. Kode-kode itu
mencakup aspek-aspek sintagmatik dan semantik.
Menurut Bhartes, dalam Djojosuroto (2004:109) ada lima
kode yang digunakan (1) kode teka-teki (the hermenetic code), (2) kode
konotatif (the code of semes or signifiers), (3) kode simbolis (the
simbolic code), (4) kode aksian (the proairetic code), (5) kode
budaya (the cultural or refernce code).
Kode Hermeneutik berkisar pada harapan pembca
mendapatkan nilai kebenaran terhadap pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam
karya saatra. Kode ini mambangkitkan hasrat dan kemauan untuk menemukan jawaban
atas pertanyaan yang terkandung dalam sebuah karya sastra. Misalnya ambiguitas,
kata-kata kuno (arkaik), metafor, dan lambang-lambang lain (Djojosuroto, 2004
:109)
Kata-kata kuno, metafor, dan lambang termasuk ke dalam
konvensi tambahan bahasa sastra yang diantaranya bahasa kias. Untuk mendapat
pemahaman yang lebih mendalam dalam mencari konvensi tambahan bahasa sastra
yang merupakan teka-teki dan merupakan bagian dari harapan pembaca. Penulis
pendapat Riffaterre dalam Pradopo (1987) sepertiyang telah dikemukakan di atas,
bahwa terdapat ketidaklangsungan puisi sebagai akibat adanya konvensi tambahan
bahasasastra. Konvensi tambahan ini ada tiga hal :
Pergantian arti (displacing)
Ini terjadi apabila suatu arti kata (kiasan) berarti yang
lain (tidak menurut arti sesungguhnya).
(Pradopo, 1987 : 212). Pada umumnya kata-kata kiasan mengganti arti
sesuatu yang lain, libih metafora dan metonomi
Penyimpangan arti (distorsing),
Menurut Riffaterre dalam Pradopo (1987 :213) hal in
terjadi apabila dalam sajak (puisi) ada ambiguitas, kontradiksi, ataupun nonsense
Penciptaan arti (creating of meaning).
Ini terjadi apabila ruang teks (spasi) berlaku sebagai
prinsi pengorganisasian untuk membuat tanda-tanda keluar dari hal-hal ketatbahsaan
yang sesunguhnya secara linguistik tidak ada artinya,misalnya simitri, rima,
enjabement, atau ekuivalensi-ekuivalensi makna (semantik)
Kode konotatif berkenaan dengan tema-tema yang
dapat disusun lewat proses pembacaan teks. Jika di dalam teks dijumpai konotasi
kata, frase, atau bahkan kalimat tertentu, semua itu dapat dikelompokkan ke
dalam konotasi kata, frase, dan kalimat yang mirip (Suwondo, 2003 :80)
Kode simbolis adalah dunia lambang, yaitu dunia
personifikasi manusia dalam menghayati arti hidup dan kehidupan. Simbol
merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas dan bersifat struktural.
Pengenalan simbol dilakukan melalui kelompok-kelompok bentuk yang teratur,
mengulangi bermacam kode dan maksud teks sastra (Djojosuroto, 2004 : 109)
Kode aksian kode ini merupakan perlengkapan utama
teks. Setiap aksi atau tindakan dapat disitematiskan (codifiction).
Dalam hal ini, tindakan adalah sintagmatik, berangkat dari satu titik ke titik
yang lain. Tindakan-tindakan tersebut saling berhubungan walaupun saling
tumpang tindih (Suwondo, 2003: 78)
Kode budaya, hal ini berkaitan dengan berbagai
sistem pengetahuan atau sistem nilai yang tersirat dalam teks, misalnya adanya
bahasa atau kata-kata mutiar, benda-benda yang telah dikenal sebagai benda
budaya, steriotip pemahaman manusia, dan sejenisnya. Jadi kode ini merupakan acuan atau referensi teks (Suwondo,
2003 : 80)
Analisis Puisi Tahajud (2)
Langkah pertama yang dilakukan adalah dengan membedah
teks baris demi baris. Cara yang dilakukan penulis coba lakukan untuk membedah
teks dengan cara memparafrasekan puisi yang dianalisis, sehingga tampak puisi
teresebut seakan sebuah teks narasi. Dengan perkataan lain penulis mencoba
membuat penafsiran dari spasi yang tertinggal dari sang penyair.
Tahajud (2)
Aku tak(pernah) tahu kapan dunia (tempat) (ke) buruk (an)
ini akan berubah
Menjadi onggokan-onggokan sampah
Mungkin (terwujud) (pada) saat kukumpulkan pecahan-pecahan
(percik) api
Di antara (cahaya) sinar bulan yang membusuk
Atau (mungkin) ketika kuhamili sunyi di sudut (kesunyian)
malam
Hingga lahir seratus bayi
Dari kemabukanku yang khusyuk
Aku memasuki terowongan (kefanaan) (yang) panjang
Menghimpun segenap kegelapan (jalan) dalam dadaku
Untuk kuledakan menjadi cahaya (tuhan)
Tanganku (tengadah) (sementara) (tubuhku) mengembang
seperti burung raksasa
Yang mencakari mataku sendiri
Lalu (aku) tertawa pada dunia (fana) yang kutinggalkan
(Mata) Aku terpejam
Memasuki kekosongan (jiwa) yang nikmat
Kupungut kepingan-kepingan galaksi itu
Dan kubakar pakaianku yang lusuh
(Dan) Lihatlah, kini aku telanjang
Dengan dada yang terbongkar
Merangkak terus menghampiri pagi bersujud tanpa henti
(1990)
(1) Kode Hermeneutik
Teka-teki yang coba penulis pecahkan dengan menganalisis
kode hermeneutik yang terdapat dalam puisi ini dimulai dari menganalisis judul
puisi yakni tahajud. Tahajud ini mempunyai arti soalat sunat yang dilakukan
tengah malam, seusai tidur. Tahajud pundalam islam termasuk ke dalam salat
sunat yang derajatnya cukup tinggi sehingga Allah menganjurkannya langsung di
dalam Alquran. Kemudian tahajud pun dijadikan oleh Allah sebagai salah satu
sarana untuk menaikan derajatnya di dunia dan di akhirat. Berdsarkan makna yang
telah diurai di atas, penulis menemukan penggantian makna dari tahajud menjadi
sebuah keinginan yang kuat dari penyair untuk mendapatkan keutamaan dari Tuhan,
yakni perubahan dari semua keburukan dan kejelekan dunia.
Aku tidak tahu kapan dunia buruk ini akan berakhir. Buruk adalah sebuah konsp penilaian yang
diberikan oleh manusia terhadap segala sesuatu yang dianggap tidak layak dan
tidak pantas.. Pengagantian arti dari fasa dunia buruk ialah dunia tempat
segala macam keburukan dan kerusakan, dimana mahluknya selalu ingin menguasai
yang lainnya sampai melakukan tindakan-tindakan yang kadang merusak dan
menghancurkan.
Kukumpulkan pecahan pecahan api/Diantara sinar bulan
yang membusuk. Pecahan artinya terbelah menjadi serpihan-serpihan. Pecahan api di sini
merupakan konkretiasai dari berkas cahaya yang timbul dari sinar api.
Pembentukan konkretisasi sianr atau berkas api dengan menggunakan kata pecahan,
tidak lepas dari latar belakang penyair yang kuliah di bidang seni lukis. Bulan
merupakan satelit satu-satunya yang dimiliki oleh bumi dan merupakan simbol
keindahan. Sedangkan makna membusuk ialah sebuah proses fermentasi alamiah yang
dialami oleh makanan ataupun buah-buahan yang tidak memiliki pengawet. Maksud
dari sinar bulan yang membusuk ini bersgeser menjadi sebuah simbol dari
kekuatan iman penyair yang sedang berada pada titik rendah. Bulan disimbolkan
sebagai iman yang menerangi dan bumi adalah hati yamng diterangi oleh cahaya
iman itu.
Atau ketika kuhamili sunyi di sudut malam/ Hingga lahir seratus
bayi/ dari kemabukanku yang khusyuk.Menghamili ialah membuahi. Sedangkan penggantian arti
yang terdapat dalam kata menghamili ialah mengisi malam yang sunyi dengan
sebuah pengabdian (ibadah) yang sangat intim. Sedangkan kemabukan, ialah
suasana dalam keadaan sedang tidak dalam kesadaran dirinya sendiri. Mabuk di
sini bukanlah dalam artian sebenarnya, namun mabuk di sini merupakan sebuah
perlambangan dari kelarutan diri manusia dalam dzat Tuhan (Maqom Fana)
Aku memasuki terowongan panjang / menghimpun segenap
kegelapan dalam dadaku/ Untuk kuledakkan menjadi cahaya. Terowongan penjang di sini ialah sebuah
perjalanan spiritual dari penyair. Terowongan berpindah arti menjadi sebuah
jalan yang harus dilalui oleh seorang pejalan. Kegelapan simbolisasi dari hati
yang kelam yang dibimbing oleh cahaya ilahi menuju kebenaran, sesuai narasi Kuledakkan
menjadi cahaya.
Aku terpejam / memasuki kkosongan yang nikmat. Kekosongan ialah situasi yang tidak ada
apa-apa, sementara nikmat ialah sebuah perasaan puas. Dari kedua arti ini
menemukan pergantian arti bahwa yang dimaksud di sini adalah sebuah konsep
sufistik yang disebut Takholli, yakni tidak bertahtanya dunia dalam diri
manusia. Dengan perkataan lain bahwa dalam dirinya sudah tidak ada urusan
duniawi.
Kupungut kepingan galaksi itu / Dan kubakar pakaianku
yang lusuh. Galaksi adalah kumpulan dari jutaan planet dan bintang. Galaksi mengalami
pergesaran arti dari arti sebenarnya, jadi kupungut kepingan-kepingan galaksi
adalah kongkretisasi dari bersatunya lagi pecahan jiwa yang sudah kehilangan
kekhusukannya kepada Tuhan, hal ini diperjelas dengan baris terakhir kubakar
pakaianku yang lusuh. Jelas di
sini bahwa penyair mencoba mengutuhkan
kembali jiwanya untuk mencapai kekhusyuan dan meninggalkan keburukan di masa
lalu dengan dibakarnya pakain yang sudah lusuh / usang.
Merangkak terus menghampiri pagi. Merangkak merupakan simbolisasi dari
ketidakberdayaan si aku dalam mencapai hakikat dari Tuhan, namun tidak ada
sedikit pun putus asa dari mengharap rahmat Tuhan untuk medapatkan sebuah
perbaikan dalam kehidupan.
(2) Kode konotatif
Kode-kode konotatif yang terdapat dalam puisi ini sebagai
berikut.
Dunia buruk, bulan yang busuk, pakaian yang lusuh. Ketiga kode konotatif ini menyaran pada tema
tentang penyesalan penyair terhadap sikap yang dilakukannya di masa lalu, baik
itu sikap lahir maupun sikap batinnya.
Kemabukan yang khusyuk, kekosongan yang nikmat,merangkak
menghampiri pagi. Kode konotatif ini menyran pada konsep penyerahan diri yang total kepad
sang maha pencipta sehingga timbul sebuah konsep sufisme yang disebut tajalli
yang mana Tuhan sudah berada dalam diri si hamba.
(3) Kode simbolis
Berdasarkan kedua kelompok kode konotatif ini, penulis
mendapatkan tema secaara menyeluruh yakni jangan pernah lelah untuk mencar
Tuhan, karena Tuhan ada pada hati setiap manusia. Kenali diri sendiri maka
niscaya akan kau kenali Tuhanmu.
Daftar Pustaka
Djojosuroto, Kinayati. 2004. Puisi Pendekatan dan
Pembelajran. Jakarta:
Nusantara
Djoko Pradopo, Rachmat. 1987. Pengkajian Prosa Fiksi
Analisis Strata Norma dan Analisis Struktural dan Semiotik. Yogyakarta :
Gajah Mada University Press.
Sudjiman, Panuti dan Van Zoest. 1991. Serba-Serbi
Semiotika. Jakarta : Gramedia
Suwondo, Tirto. 2003. Studi Sastra Beberapa Alternatif
. Yogyakarta : Hanindita Graha Widya.
Tjahjono, Tengsoe. 1987. Sastra Indonesia Pengantar
Teori dan Apresiasi. Flores : Nusa Indah.
Waluyo , Herman J. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi.
Jakarta : Erlangga.
0 Komentar:
Post a Comment