Home » » DUA PISAU BEDAH UNTUK KANG ACEP ZAM-ZAM

DUA PISAU BEDAH UNTUK KANG ACEP ZAM-ZAM

DUA PISAU BEDAH UNTUK KANG ACEP ZAM-ZAM

Oleh: Muhammad Helmi Aminudin

*Guru di MTsN 1 Tasikmalaya
TAHAJUD (2)

Aku tak tahu kapan dunia buruk ini akan berubah
Menjadi onggokan-onggokan sampah
Mungkin saat kukumpulkan pecahan-pecahan api
Di anatara sinar bulan yang membusuk
Atau ketika kuhamili sunyi di sudut malam
Hingga lahir seratus bayi
Dari kemabukanku yang khsyuk

Aku memasuki terowongan
Menghimpun segenap kegelapan dalam dadaku
Untuk kuledakan menjadi cahaya
Tanganku mengembang seperti burung raksasa
Yang mencakari mataku sendiri
Lalu tertawa pada dunia yang kutinggalkan

Aku terpejam
Memasuki kekosongan yang nikmat
Kupungut kepingan-kepingan galaksi itu
Dan kubakar pakaianku yang lusuh
Lihatlah, kini aku telanjang
Dengan dada yang terbongkar
Merangkak terus menghampiri pagi bersujud tiada henti (1990)

Tahajud (2) adalah salah satu puisi dari antologi puisi Kang Acep Zam-zam Nur yang berjudul Jalan Menuju Rumahmu. Profil Kang Acep bagi orang Tasik khususnya terlebih bagi yang bergelut di dunia sastra dan guru Bahasa Indonesia sudah tidak asing lagi. Beliau adalah putra dari salah satu ulama terkenal di Tasikmalaya, dari pondok Pesantren Cipasung yaitu K.H Ilyas Ruhiyat. Beliau dilahirkan pada Tanggal 28 Pebruari 1960. Kumpulan puisi beliau sudah sangat banyak, bahkan beberapa diantaranya sudah dimuat media asing seperti di poet chant (Jakarta 1995) dan diterjemahkan oleh Harry Avelling untuk Secrets need Words : Indonesian Poetry 1966-1998 ( Ohio University Press, 2001)

Kembali ke puisi Tahajud, dalam dunia analitik karya sastra ada banyak madzhab yang bisa kita gunakan dalam menganalisis, terlebih lagi bahwasanyya puisi memiliki kode bahasa yang unik dibanding dengan karya sastra yang lainnya. Keunikan tersebut karena puisi memadatkan bahasa yang dipakai, menyimpan banyak makna di balik kata, menyimpan arti di balik diksi. Ditambah dengan bahasa konotasi dan lambang yang dipergunakan.

Di sekolah-sekolah pada buku pelajaran yang diampu oleh para guru, analisis karya sastra puisi menggunakan teori strukturalisme, yang mana teori tersebut menganalisis sebuah puisi dari strukturnya baik itu struktur fisik maupun struktur batin.

Herman J Waluyo (1987) mengatakan bahwa Struktur puisi terbagi dua yakni struktur fisik (metode) dan struktur batin (hakikat). Struktur fisik puisi adalah unsur estetis yang membangun puisi dari dari luar, yangb dapat ditelaah satu persatu, tetapi unsur-unsur itu merupakan kesatuan yang utuh. Unsur-unsur itu ialah : diksi, pengimajian, kata kongkret, majas, versifikasi, dan tifografi. Sedangkan struktur batin adalah hakikat dari puisi, hakikat ini meliputi tema, perasaan, sikap penyair atau nada, dan amanat.
 Kembali ke puisi Tahajud (2) di atas tadi, jika kita mencoba membedah dengan pisau bedah strukturalisme, maka tata alurnya akan seperti yang diungkapkan di atas.

Membedah Puisi Tahajud  dengan metode strukturalisme
Struktur fisik puisi.
a.       Diksi
Diksi dapat dikatakan sebuah cara dari penyair untuk memilih kata secara cermat, juga dengan mempertimbangkan urutan kata, dan kekuatan kat atau daya magis (Waluyo 1987 : 72). Pada puisi Tahajud diksi yang digunakan adalah sebagai berikut.

Dunia buruk menjadi onggokan-onggokan sampah. Dalam baris ini kita mendapati kata onggokan-onggokan sampah. Penyair memilih kata onggokan sampah bukan tumpukan sampah, dikarenakan ada daya sugesti yang diinginkan oleh penyair bahwa kesenangan di dunia adalah sesuatu yang kotor (dilambangkan dengan sampah) dan tidak seberapa (dilambangkan dengan kata onggokan), jadi dengan diksi ini penyair mencoba menggambarkan bahwa dunia adalah sesuatu yang hina dan tidak seberapa.

Sinar bulan yang membusuk. Penyair memilih kata membusuk tidak dengan kata meredup. Padahal seharusnya sinar itu padanan yang tepat adalah terang, redup, dan gelap, bukan busuk dan segar. Namun rupaya mungkin ada yang diingkan oleh penyair dengan kata busuk tersebut, sebab bukan bulan dalam artian bulan sebagai satelit bagi bumi, namun bulan dalam arti kias yang mungkin dimaksud oleh penyair adalah potensi keimanan dia yang sedang turun, karena cahaya keimanan ibarat rembulan yang menerangi hati manusia.

Kemabukanku yang khusyuk. Ada narasi yang aneh di sini, yaitu kemabukan dan kehusyukan. Padahal dalam keadaan kehidupan yang normal orang yang mabuk tidak mungkin untuk bisa khusyuk, jangankan untuk bisa konsentrasi, pikirannya pun sedang tidak “waras”, namun Kang Acep dalam puisinya ini menyandingkan kata mabuk dan khusyuk  secara berdampingan, keanehan yang ada disini adalah sesuatu yang disengaja karena dalam diksi kadang terjadi penyimpangan secara semantis. Waluyo (1987 : 68) mengatakan bahwa penyimpangan semantis itu terjadi karena “ Makna dalam puisi tidak menunjuk pada satu makna, namun menunjuk pda makna ganda.” Jadi yang dimaksud “mabuk” dalam baris ini adalah istilah Sufistik  yang biasanya untuk melambangkan suatu keadaan dimana seorang hamba sudah masuk Maqom Fana yang mana dia tidak melihat kecuali Hakikat,  yaitu sang maha pencipta. Akhirnya dia sudah tidak peduli dengan keadaan sekitar layaknya orang mabuk.

b.      Pengimajian
Pengimajian dapat diartikan sebagai “Kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan.” Waluyo (1987 : 78).
Dalam puisi Tahajud (2) ini ada beberapa imaji yang penulis rasakan adalah imaji perasaan (imaji taktil) hampir di semua baris yang dituliskan Kang Acep, karena puisi ini banyak mengandung bahasa “mistis” karena puisi ini bersifat sufistik, sedangkan dalam dunia Islam sufisme itu ibarat dunia “mistis” karena berbicara tentang sebuah hakikat, dan melepaskan semua bentuk fisik. Kesengan dan kesedihan yang hadir pun adalah hasil dari perjalanan jiwa dan kontemplasi dari seorang Sufi, walaupun kadang kesadaran mistisme itu berawal dari perjalanan fisik seperti Ibrahim ibn Adham, Hasan Al Basri, dan Malik Ibn Dinar.

Kembali ke puisi di atas, contoh Imaji perasaan yang dihadirkan oleh penyair adalah sebagai berikut
Aku memasuki terowongan panjang,, Menghimpun segenap kegelapan dalam dadaku. Dari dua baris ini kita bisa merasakan aura sufisme yang kental, dalam bahasa Sufisme kalimat Memasuki terowongan yang panjang biasa disebut proses “suluk”  yang berarti pencarian. Pencarian akan jati diri, pencarian akan hakikat hidup, dan pencarian akan eksistensi Tuhan dalam diri hamba. Tentu proses pencarian ini tidak bisa kita lihat ataupun kita dengar, namun proses pencarian ini hanya bisa dirasakan oleh seorang hamba dan hanya bisa dirasakan oleh hamba yang sudah melewati proses suluk dan melewati maqom fana.

c.       Kata Kongkret
Kata kongkret ini berkaitan erat dengan imaji, artinya sebuah imaji yang seakan dilihat, didengar, dan diraskan oleh pembaca itu dikonkretisasi dengan kata tersebut. Seperti pada poin di atas, imaji perasaan yang disampaikan penyair lewat puisinya dapat dirasakan oleh kita sebagai pembaca karena ada konkretisasi berupa kata terowongan, panjang, kegelapan dalam dada.

d.      Majas
Waluyo (1987 : 83) “Majas adalah bahasa yang digunakan penyair untuk mengatakan sesuatu dengan cara tidak biasa.” Dengan majas akan menimbulkan makna yang prismatis, artinya satu kata akan menghasilkan banyak makna.

Dalam puisi Tahajud (2) ini penulis lebih banyak menemukan majas dalam bentuk lambang daripada bahasa kias. Sebagai contoh :
Bulan yang membusuk, ini melambangkan dari cahaya keimanan yang berkurang seiring dengan godaan dari dunia.
Aku terpejam ... Memasuki kekosongan yang nikmat.  Dua baris ini melambangkan dari sebuah perjalanan sufistik, yang melambangkan bahwa hati yang sudah dimasuki oleh Nama Tuhan, maka hati tersebut ibarat sebuah tempat yang kosong dari keinginan-keinginan yang bersifat duniawi.

e.       Versifikasi
Versifikasi ini berkaitan dengan permainan bunyi yang ada dalam sebuah puisi. Orkestrasi dari permainan kata dalam sebuah puisi tidak hanya menghasilkan sebuah karya yang dalam secara makna, namun juga indah dari segi bahasa yang dipergunakan.
Dalam puisi Tahajud (2) ada permainan bunyi yang digunakan penyair berupa rima atau persamaan bunyi akhir.
Diantara sinar bulan yang membusuk
Atau ketika kuhamili sunyi di sudut malam
Hingga lahir seratus bayi
Dari kemabukanku yang khusyuk
Ada permainan bunyi yang dipakai oelh penyair disana yaitu persamaan bunyi akhir yakni bunyi –uk- pada kata membusuk  dan  Khusyuk

f.       Tifografi
Tifografi atau tata wajah pada puisi ini tidak ada yang aneh, walupun aturan puisi secara konvensional masih dipakai, yakni adanya baris dan baitnamun tidak ada ikatan seperti dalam puisi lama seperti syair dan pantun.

Struktur Batin
Tema
Berbicara tentang tema untuk puisi cukup sulit, karena kita harus menganalisis secara mendalam dari berbagai aspek, mulai dari lambang, majas, pengimajian dan lain-lain. Namun walaupun sulit bukan berarti kita tidak mungkin mencari tema dari sebuah karya, hanya perlu analisis dan pemahaman terhadap kode bahasa yang ada serta memperhatikan latar belakang pengarang maka gambaran akan tema kita dapatkan.

Puisi Tahajud (2) jika kita analisis maka kita akan mendapatkan beberapa petunjuk seperti bahasan pada diksi dan majas, maka secara garis besar puisi ini dikategorikan sebagai puisi sufistik dengan tema ketuhanan. Dikatakan bertema ketuhanan karena disini berbicara tentang pengalamn religius dari seorang penyair.

Perasaaan
Perasaan atau feeling ini berkitan dengan bagaimanasikap dari penyair terhadap pokok persoalan. (Waluyo 1987 :120) . Perasaan yang timbul mungkin berupa benci, sedih, iba, gembira, gelisah dan lain sebagainya.

Perasaan yang penulis pahami dari karya Kang Acep ini adalah bahwa ada semacam kegelisahan yang dialami oleh penyair akan kegamangan dia dalam wujud keimanan dia yang digambarkan sebagai bulan yang membusuk, namun di bait kedua kita mendapati bahwa penyair seakan mendapatkan pencerahan secara spiritual dari perjalanan hidupnya, ini bisa kita rasakan pada dua baris  menghimpun segala kegelapan dalam dadaku... untuk kuledakan menjadi cahaya. Dan pada bait ketiga kita merasakan bahwa oenyair benar-benar sudah mendapati pencerahan dari perjalanan spiritualnya,, ini diuangkapkan pada baris Dan kubakar pakaianku yang lusuh..... Lihatlah, kini aku telanjang. Pakaian lusuh adalah simbol dari sesuatu yang usang, jiwa yang lama ditinggalkan. Sedangkan kata Telanjang menyimbolkan dari sebuah kejujuran tanpa ada satu pun yang disembunyikan. Telanjang dapat diartikan sebagai sesuatu yang penyerahan total kepada Tuhan, karena merasa bahwa dirinya sudah tidak bisa apa-apa dan bukan siapa-siapa.

Nada dan Suasana
Ada dua hal yang menjadi poin disini, yaitu nada dan suasana. Nada adalah sikap penyair terhadap pembaca sedangkan suasana adalah keadaan jiwa pembaca setelah membaca puisi, atau akibat psikologis yang timbul pada pembaca (Waluyo, 1987 : 125). Nada yang terkandung dalam puisi ini adalah bersifat religius, karena seperti yang diungkapkan penulis di atas bahwa puisi ini bertema tentang religius dan bersifat sufistik. Sedangkan suasana yang dirasakan pembaca dari membaca puisi adalah suasana khusyuk yang bergitu mendalam, dengan mengikuti proses pencarian Tuhan dan diri dari penyair.

Amanat
Amanat yang ingin disampaikan oleh penyair dari puisi ini adalah jangan berhenti untuk mencari Tuhan, karena Tuhan ada di diri manusia dan carilah ketenangan bersama Tuhan karena dengan mengenal Tuhan maka dunia dan segala isinya menjadi sesuatu yang fana dan tidak berarti.

Membedah puisi Tahajud (2) dengan metode Semiotika
Prosedur pendekatan Semiotik
Banyak ahli yang mengemukakan tentang prosedur atau langkah kerja yang dapat dilaksanakan delam meneliti karya sastra dengan mengacu pada teori semiotik. Rolan Barthes sebagai tokoh semiotik dari prancis, mengajukan sebuah teori tentang penganalisisan karya sastra dengan menggunakan pendekatan semiotik ini. Dia menganalisis karya sastra dengan pendekatan semiotik dengan menggunakan lima sistem kode bahasa.

Prosedur kerja teori Bhartes ini sebagai mana yang dikemukakan oleh Suwondo (2003:87), adalah dalam memahami makna teks sastra, Bharte pertama-tama membedah teks baris demi baris. Baris demi baris itu dikonsentrasikan menjadi satuan-satuan makna sendiri. Setelah satuan makna diperoleh, Bhartes kemudian mencoba mengklasifikasikan dan merangkum ke dalam lima sistem kode yang memperhatikan setiap aspek signifikan. Kode-kode itu mencakup aspek-aspek sintagmatik dan semantik.

Menurut Bhartes, dalam Djojosuroto (2004:109) ada lima kode yang digunakan (1) kode teka-teki (the hermenetic code), (2) kode konotatif (the code of semes or signifiers), (3) kode simbolis (the simbolic code), (4) kode aksian (the proairetic code), (5) kode budaya (the cultural or refernce code).

Kode Hermeneutik berkisar pada harapan pembca mendapatkan nilai kebenaran terhadap pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam karya saatra. Kode ini mambangkitkan hasrat dan kemauan untuk menemukan jawaban atas pertanyaan yang terkandung dalam sebuah karya sastra. Misalnya ambiguitas, kata-kata kuno (arkaik), metafor, dan lambang-lambang lain (Djojosuroto, 2004 :109)

Kata-kata kuno, metafor, dan lambang termasuk ke dalam konvensi tambahan bahasa sastra yang diantaranya bahasa kias. Untuk mendapat pemahaman yang lebih mendalam dalam mencari konvensi tambahan bahasa sastra yang merupakan teka-teki dan merupakan bagian dari harapan pembaca. Penulis pendapat Riffaterre dalam Pradopo (1987) sepertiyang telah dikemukakan di atas, bahwa terdapat ketidaklangsungan puisi sebagai akibat adanya konvensi tambahan bahasasastra. Konvensi tambahan ini ada tiga hal :

Pergantian arti (displacing)
Ini terjadi apabila suatu arti kata (kiasan) berarti yang lain (tidak menurut arti sesungguhnya).  (Pradopo, 1987 : 212). Pada umumnya kata-kata kiasan mengganti arti sesuatu yang lain, libih metafora dan metonomi

Penyimpangan arti (distorsing), 
Menurut Riffaterre dalam Pradopo (1987 :213) hal in terjadi apabila dalam sajak (puisi) ada ambiguitas, kontradiksi, ataupun nonsense

Penciptaan arti (creating of meaning).
Ini terjadi apabila ruang teks (spasi) berlaku sebagai prinsi pengorganisasian untuk membuat tanda-tanda keluar dari hal-hal ketatbahsaan yang sesunguhnya secara linguistik tidak ada artinya,misalnya simitri, rima, enjabement, atau ekuivalensi-ekuivalensi makna (semantik)

Kode konotatif berkenaan dengan tema-tema yang dapat disusun lewat proses pembacaan teks. Jika di dalam teks dijumpai konotasi kata, frase, atau bahkan kalimat tertentu, semua itu dapat dikelompokkan ke dalam konotasi kata, frase, dan kalimat yang mirip (Suwondo, 2003 :80)

Kode simbolis adalah dunia lambang, yaitu dunia personifikasi manusia dalam menghayati arti hidup dan kehidupan. Simbol merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas dan bersifat struktural. Pengenalan simbol dilakukan melalui kelompok-kelompok bentuk yang teratur, mengulangi bermacam kode dan maksud teks sastra (Djojosuroto, 2004 : 109)

Kode aksian kode ini merupakan perlengkapan utama teks. Setiap aksi atau tindakan dapat disitematiskan (codifiction). Dalam hal ini, tindakan adalah sintagmatik, berangkat dari satu titik ke titik yang lain. Tindakan-tindakan tersebut saling berhubungan walaupun saling tumpang tindih (Suwondo, 2003: 78)

Kode budaya, hal ini berkaitan dengan berbagai sistem pengetahuan atau sistem nilai yang tersirat dalam teks, misalnya adanya bahasa atau kata-kata mutiar, benda-benda yang telah dikenal sebagai benda budaya, steriotip pemahaman manusia, dan sejenisnya. Jadi kode ini  merupakan acuan atau referensi teks (Suwondo, 2003 : 80)

Analisis Puisi Tahajud (2)
Langkah pertama yang dilakukan adalah dengan membedah teks baris demi baris. Cara yang dilakukan penulis coba lakukan untuk membedah teks dengan cara memparafrasekan puisi yang dianalisis, sehingga tampak puisi teresebut seakan sebuah teks narasi. Dengan perkataan lain penulis mencoba membuat penafsiran dari spasi yang tertinggal dari sang penyair.

Tahajud (2)
Aku tak(pernah) tahu kapan dunia (tempat) (ke) buruk (an) ini akan berubah
Menjadi onggokan-onggokan sampah
Mungkin (terwujud) (pada) saat kukumpulkan pecahan-pecahan (percik) api
Di antara (cahaya) sinar bulan yang membusuk
Atau (mungkin) ketika kuhamili sunyi di sudut (kesunyian) malam
Hingga lahir seratus bayi
Dari kemabukanku yang khusyuk

Aku memasuki terowongan (kefanaan) (yang) panjang
Menghimpun segenap kegelapan (jalan) dalam dadaku
Untuk kuledakan menjadi cahaya (tuhan)
Tanganku (tengadah) (sementara) (tubuhku) mengembang seperti burung raksasa
Yang mencakari mataku sendiri
Lalu (aku) tertawa pada dunia (fana) yang kutinggalkan

(Mata) Aku terpejam
Memasuki kekosongan (jiwa) yang nikmat
Kupungut kepingan-kepingan galaksi itu
Dan kubakar pakaianku yang lusuh
(Dan) Lihatlah, kini aku telanjang
Dengan dada yang terbongkar
Merangkak terus menghampiri pagi bersujud tanpa henti (1990)

(1)   Kode Hermeneutik
Teka-teki yang coba penulis pecahkan dengan menganalisis kode hermeneutik yang terdapat dalam puisi ini dimulai dari menganalisis judul puisi yakni tahajud. Tahajud ini mempunyai arti soalat sunat yang dilakukan tengah malam, seusai tidur. Tahajud pundalam islam termasuk ke dalam salat sunat yang derajatnya cukup tinggi sehingga Allah menganjurkannya langsung di dalam Alquran. Kemudian tahajud pun dijadikan oleh Allah sebagai salah satu sarana untuk menaikan derajatnya di dunia dan di akhirat. Berdsarkan makna yang telah diurai di atas, penulis menemukan penggantian makna dari tahajud menjadi sebuah keinginan yang kuat dari penyair untuk mendapatkan keutamaan dari Tuhan, yakni perubahan dari semua keburukan dan kejelekan dunia.

Aku tidak tahu kapan dunia buruk ini akan berakhir. Buruk adalah sebuah konsp penilaian yang diberikan oleh manusia terhadap segala sesuatu yang dianggap tidak layak dan tidak pantas.. Pengagantian arti dari fasa dunia buruk ialah dunia tempat segala macam keburukan dan kerusakan, dimana mahluknya selalu ingin menguasai yang lainnya sampai melakukan tindakan-tindakan yang kadang merusak dan menghancurkan. 

Kukumpulkan pecahan pecahan api/Diantara sinar bulan yang membusuk. Pecahan artinya terbelah menjadi serpihan-serpihan. Pecahan api di sini merupakan konkretiasai dari berkas cahaya yang timbul dari sinar api. Pembentukan konkretisasi sianr atau berkas api dengan menggunakan kata pecahan, tidak lepas dari latar belakang penyair yang kuliah di bidang seni lukis. Bulan merupakan satelit satu-satunya yang dimiliki oleh bumi dan merupakan simbol keindahan. Sedangkan makna membusuk ialah sebuah proses fermentasi alamiah yang dialami oleh makanan ataupun buah-buahan yang tidak memiliki pengawet. Maksud dari sinar bulan yang membusuk ini bersgeser menjadi sebuah simbol dari kekuatan iman penyair yang sedang berada pada titik rendah. Bulan disimbolkan sebagai iman yang menerangi dan bumi adalah hati yamng diterangi oleh cahaya iman itu.

Atau ketika kuhamili sunyi di sudut malam/ Hingga lahir seratus bayi/ dari kemabukanku yang khusyuk.Menghamili ialah membuahi. Sedangkan penggantian arti yang terdapat dalam kata menghamili ialah mengisi malam yang sunyi dengan sebuah pengabdian (ibadah) yang sangat intim. Sedangkan kemabukan, ialah suasana dalam keadaan sedang tidak dalam kesadaran dirinya sendiri. Mabuk di sini bukanlah dalam artian sebenarnya, namun mabuk di sini merupakan sebuah perlambangan dari kelarutan diri manusia dalam dzat Tuhan (Maqom Fana)

Aku memasuki terowongan panjang / menghimpun segenap kegelapan dalam dadaku/ Untuk kuledakkan menjadi cahaya. Terowongan penjang di sini ialah sebuah perjalanan spiritual dari penyair. Terowongan berpindah arti menjadi sebuah jalan yang harus dilalui oleh seorang pejalan. Kegelapan simbolisasi dari hati yang kelam yang dibimbing oleh cahaya ilahi menuju kebenaran, sesuai narasi Kuledakkan menjadi cahaya.

Aku terpejam / memasuki kkosongan yang nikmat.  Kekosongan ialah situasi yang tidak ada apa-apa, sementara nikmat ialah sebuah perasaan puas. Dari kedua arti ini menemukan pergantian arti bahwa yang dimaksud di sini adalah sebuah konsep sufistik yang disebut Takholli, yakni tidak bertahtanya dunia dalam diri manusia. Dengan perkataan lain bahwa dalam dirinya sudah tidak ada urusan duniawi.

Kupungut kepingan galaksi itu / Dan kubakar pakaianku yang lusuh. Galaksi adalah kumpulan dari jutaan planet dan bintang. Galaksi mengalami pergesaran arti dari arti sebenarnya, jadi kupungut kepingan-kepingan galaksi adalah kongkretisasi dari bersatunya lagi pecahan jiwa yang sudah kehilangan kekhusukannya kepada Tuhan, hal ini diperjelas dengan baris terakhir kubakar pakaianku yang lusuh.  Jelas di sini  bahwa penyair mencoba mengutuhkan kembali jiwanya untuk mencapai kekhusyuan dan meninggalkan keburukan di masa lalu dengan dibakarnya pakain yang sudah lusuh / usang.

Merangkak terus menghampiri pagi. Merangkak merupakan simbolisasi dari ketidakberdayaan si aku dalam mencapai hakikat dari Tuhan, namun tidak ada sedikit pun putus asa dari mengharap rahmat Tuhan untuk medapatkan sebuah perbaikan dalam kehidupan.

(2)   Kode konotatif
Kode-kode konotatif yang terdapat dalam puisi ini sebagai berikut.
Dunia buruk, bulan yang busuk, pakaian yang lusuh. Ketiga kode konotatif ini menyaran pada tema tentang penyesalan penyair terhadap sikap yang dilakukannya di masa lalu, baik itu sikap lahir maupun sikap batinnya.
Kemabukan yang khusyuk, kekosongan yang nikmat,merangkak menghampiri pagi. Kode konotatif ini menyran pada konsep penyerahan diri yang total kepad sang maha pencipta sehingga timbul sebuah konsep sufisme yang disebut tajalli yang mana Tuhan sudah berada dalam diri si hamba.

(3)   Kode simbolis
Berdasarkan kedua kelompok kode konotatif ini, penulis mendapatkan tema secaara menyeluruh yakni jangan pernah lelah untuk mencar Tuhan, karena Tuhan ada pada hati setiap manusia. Kenali diri sendiri maka niscaya akan kau kenali Tuhanmu.


Daftar Pustaka
Djojosuroto, Kinayati. 2004. Puisi Pendekatan dan Pembelajran. Jakarta:             Nusantara
Djoko Pradopo, Rachmat. 1987. Pengkajian Prosa Fiksi Analisis Strata Norma dan Analisis Struktural dan Semiotik. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
Sudjiman, Panuti dan Van Zoest. 1991. Serba-Serbi Semiotika. Jakarta : Gramedia
Suwondo, Tirto. 2003. Studi Sastra Beberapa Alternatif . Yogyakarta : Hanindita Graha Widya.
Tjahjono, Tengsoe. 1987. Sastra Indonesia Pengantar Teori dan Apresiasi. Flores : Nusa Indah.
Waluyo , Herman J. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta : Erlangga.





Advertisement

Previous
« Prev Post

0 Komentar:

Post a Comment

Followers