RIYA’ DAN NIFAQManusia sebagai makhluk Tuhan telah dianugerahi berbagai nikmat sehingga hal itu mengharuskan manusia u
RIYA’ DAN NIFAQ
Manusia sebagai makhluk Tuhan telah dianugerahi berbagai nikmat sehingga hal itu mengharuskan manusia untuk bersyukur kepada-Nya. Caranya bersyukur adalah dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya, yang diwujudkan dalam beberapa akhlak terpuji terhadap-Nya.
Kebalikannya adalah akhlak tercela (akhlakul madzmumah), yaitu perbuatan yang menyimpang dari ajaran Allah Swt yang nantinya akan berdampak negatif, baik bagi pelaku maupun bagi orang lain. Diantara akhlak madzmumah adalah riya’ dan nifaq.
1. Riya’
Riya’ dalam bahasa Arab artinya memperlihatkan atau memamerkan, secara istilah riya’yaitu memperlihatkan sesuatu kepada orang lain, baik barang maupun perbuatan baik yang dilakukan, dengan maksud agar orang lain dapat melihatnya dan akhirnya memujinya. Hal yang sepadan dengan riya’ adalah sum’ah yaitu berbuat kebaikan agar kebaikan itu didengar orang lain dan dipujinya, walaupun kebaikan itu berupa amal ibadah kepada Allah Swt. Orang yang sum’ah dengan perbuatan baiknya, berarti ingin mendengar pujian orang lain terhadap kebaikan yang ia lakukan. Dengan adanya pujian tersebut, akhirnya masyhurlah nama baiknya di lingkungan masyarakat.
Dengan demikian orang yang riya’ berarti juga sum’ah, yakni ingin memperoleh pujian dari orang lain atas kebaikan yang dilakukan. Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللهُ بِهِ وَمَنْ يُرَاءِ يُرَاءِ اللهُ بِهِ ( رواه البخاري)
Artinya:” Barang siapa (berbuat baik) karena ingin didengar oleh orang lain (sum’ah), maka Allah akan memperdengarkan kejelekannya kepada yang lain. Dan barang siapa (berbuat baik) karena ingin dilihat oleh orang lain (riya’), maka Allah akan memperlihatkan kejelekannya kepada yang lain.” ( H.R Bukhari).
Allah juga berfirman dalam surat An-Nisa ayat 142 :
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُواْ إِلَى الصَّلاَةِ قَامُواْ كُسَالَى يُرَآؤُونَ النَّاسَ وَلاَ يَذْكُرُونَ اللهَ إِلاَّ قَلِيلاً
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk salat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan salat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (Q.S. 4 An Nisaa' 142)
Alangkah meruginya orang-orang yang bersifat riya’ dan sum’ah, karena mereka bersusah payah mengeluarkan tenaga, harta dan meluangkan waktu, tetapi Allah tidak menerima sedikit pun amal ibadah mereka,bahkan adzab yang mereka terima sebagai balasannya.
Firman Allah Swt :
لاَ تَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ يَفْرَحُونَ بِمَا أَتَواْ وَّيُحِبُّونَ أَن يُحْمَدُواْ بِمَا لَمْ يَفْعَلُواْ فَلاَ تَحْسَبَنَّهُمْ بِمَفَازَةٍ مِّنَ الْعَذَابِ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Artinya: “Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih.” (Q.S. 3 Ali 'Imran 188)
Sabda Rasulullah Saw:
لاَيَقْبَلُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَمَلاً فِيْهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ رِيَاءٍ ( الحديث)
Artinya: “Allah tidak akan menerima amal yang terdapat unsur riya’ di dalamnya walaupun riya’ itu hanya sebesar dzarrah” ( Al-Hadits)
Allah memberikan ancaman bagi pelaku riya’ termasuk ketika melaksanakan ibadah shalat. Orang yang melakukan perbuatan riya’ diancam sebagai pendusta Agama Islam ini, bahkan diancam dengan satu sangsi yaitu neraka Wail. Allah berfirman dalam q.s al-Maun: 4-6, yaitu:
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (5) الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ (6)
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (QS. 107:4)
(yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya. (QS. 107:5)
orang-orang yang berbuat riya”. (QS. alMaun 107:6)
Contoh-contoh perbuatan riya’ misalnya adalah:
a. Sifat –sifat yang melekat pada diri seseorang, seperti suka melekatkan sifat-sifat mulia pada diri sendiri. Hal-hal yang cenderung dipamerkan itu misalnya keelokan dirinya, pakaian atau perhiasan, jabatan di tempat kerja, dan status sosial lainnya.
b. Seseorang menyantuni anak yatim dihadapan banyak orang dengan maksud agar ditayangkan di TV atau radio.
Adapun akibat buruk riya’, antara lain sebagai berikut
a. Menghapus pahala amal baik, ( Q.S. Al-Baqarah ayat 264)
b. Mendapat dosa besar karena riya’ termasuk perbuatan Syirik kecil.
Sabda Rasulullah Saw:
اِنَّ اَخْوَفَ مَااَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ اْلاَصْغَرُ قَالُوْا يَارَسُوْلَ اللهِ
وَمَا الشِّرْكُ اْلاَصْغَرُ قَالَ الرِّيَاءُ (رواه أحمد)
Artinya:” Sesungguhnya perkara paling aku khawatirkan dari beberapa hal yang aku khawatirkan adalah syirik kecil. Sahabat bertanya, “ Apa syirik kecil itu, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Riya’” ( H.R Ahmad)
c. Tidak selamat dari bahaya kekafiran karena riya’ sangat dekat hubungannya dengan sikap kafir. (Q.S Al-Baqarah ayat 264).
2. Nifaq
Kata nifaq berasal dari kata: nafiqa alyarbu’, artinya lobang hewan sejenis tikus. Lobang ini ada dua, ia bisa masuk ke lobang satu kemudian keluar lewat lobang yang lain. Demikianlah gambaran keadaan orang-orang munafik, satu sisi menampakkan Islamnya, tetapi di sisi lain ia amat kafir dan menentang kepentingan Agama Islam.
Nifaq adalah perbuatan menyembunyikan kekafiran dalam hatinya dan menampakkan keimanannya dengan ucapan dan tindakan. Perilaku seperti ini pada hakikatnya adalah ketidaksesuaian antara keyakinan, perkataan, dan perbuatan. Atau dengan kata lain, tindakan yang selalu dilakukan adalah kebohongan, baik terhadap hati nuraninya, terhadap Allah Swt maupun sesama manusia. Pelaku perbuatan nifaq di sebut munafik. Firman Allah Swt.
وَإِذَا لَقُواْ الَّذِيْنَ اٰمَنُواْ قَالُواْ اٰمَنَّا وَإِذَا خَلَواْ إِلَى شَيَاطِينِهِمْ قَالُواْ إِنَّا مَعَكْمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ
Artinya:”Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: "Kami telah beriman." Dan bila mereka kembali kepada syaitan-setan mereka, mereka mengatakan: "Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok". (Q.S. 2 Al Baqarah 14)
oohanapiah
February 29, 2020
Blogger
IndonesiaManusia sebagai makhluk Tuhan telah dianugerahi berbagai nikmat sehingga hal itu mengharuskan manusia untuk bersyukur kepada-Nya. Caranya bersyukur adalah dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya, yang diwujudkan dalam beberapa akhlak terpuji terhadap-Nya.
Kebalikannya adalah akhlak tercela (akhlakul madzmumah), yaitu perbuatan yang menyimpang dari ajaran Allah Swt yang nantinya akan berdampak negatif, baik bagi pelaku maupun bagi orang lain. Diantara akhlak madzmumah adalah riya’ dan nifaq.
1. Riya’
Riya’ dalam bahasa Arab artinya memperlihatkan atau memamerkan, secara istilah riya’yaitu memperlihatkan sesuatu kepada orang lain, baik barang maupun perbuatan baik yang dilakukan, dengan maksud agar orang lain dapat melihatnya dan akhirnya memujinya. Hal yang sepadan dengan riya’ adalah sum’ah yaitu berbuat kebaikan agar kebaikan itu didengar orang lain dan dipujinya, walaupun kebaikan itu berupa amal ibadah kepada Allah Swt. Orang yang sum’ah dengan perbuatan baiknya, berarti ingin mendengar pujian orang lain terhadap kebaikan yang ia lakukan. Dengan adanya pujian tersebut, akhirnya masyhurlah nama baiknya di lingkungan masyarakat.
Dengan demikian orang yang riya’ berarti juga sum’ah, yakni ingin memperoleh pujian dari orang lain atas kebaikan yang dilakukan. Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللهُ بِهِ وَمَنْ يُرَاءِ يُرَاءِ اللهُ بِهِ ( رواه البخاري)
Artinya:” Barang siapa (berbuat baik) karena ingin didengar oleh orang lain (sum’ah), maka Allah akan memperdengarkan kejelekannya kepada yang lain. Dan barang siapa (berbuat baik) karena ingin dilihat oleh orang lain (riya’), maka Allah akan memperlihatkan kejelekannya kepada yang lain.” ( H.R Bukhari).
Allah juga berfirman dalam surat An-Nisa ayat 142 :
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُواْ إِلَى الصَّلاَةِ قَامُواْ كُسَالَى يُرَآؤُونَ النَّاسَ وَلاَ يَذْكُرُونَ اللهَ إِلاَّ قَلِيلاً
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk salat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan salat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (Q.S. 4 An Nisaa' 142)
Alangkah meruginya orang-orang yang bersifat riya’ dan sum’ah, karena mereka bersusah payah mengeluarkan tenaga, harta dan meluangkan waktu, tetapi Allah tidak menerima sedikit pun amal ibadah mereka,bahkan adzab yang mereka terima sebagai balasannya.
Firman Allah Swt :
لاَ تَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ يَفْرَحُونَ بِمَا أَتَواْ وَّيُحِبُّونَ أَن يُحْمَدُواْ بِمَا لَمْ يَفْعَلُواْ فَلاَ تَحْسَبَنَّهُمْ بِمَفَازَةٍ مِّنَ الْعَذَابِ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Artinya: “Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih.” (Q.S. 3 Ali 'Imran 188)
Sabda Rasulullah Saw:
لاَيَقْبَلُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَمَلاً فِيْهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ رِيَاءٍ ( الحديث)
Artinya: “Allah tidak akan menerima amal yang terdapat unsur riya’ di dalamnya walaupun riya’ itu hanya sebesar dzarrah” ( Al-Hadits)
Allah memberikan ancaman bagi pelaku riya’ termasuk ketika melaksanakan ibadah shalat. Orang yang melakukan perbuatan riya’ diancam sebagai pendusta Agama Islam ini, bahkan diancam dengan satu sangsi yaitu neraka Wail. Allah berfirman dalam q.s al-Maun: 4-6, yaitu:
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (5) الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ (6)
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (QS. 107:4)
(yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya. (QS. 107:5)
orang-orang yang berbuat riya”. (QS. alMaun 107:6)
Contoh-contoh perbuatan riya’ misalnya adalah:
a. Sifat –sifat yang melekat pada diri seseorang, seperti suka melekatkan sifat-sifat mulia pada diri sendiri. Hal-hal yang cenderung dipamerkan itu misalnya keelokan dirinya, pakaian atau perhiasan, jabatan di tempat kerja, dan status sosial lainnya.
b. Seseorang menyantuni anak yatim dihadapan banyak orang dengan maksud agar ditayangkan di TV atau radio.
Adapun akibat buruk riya’, antara lain sebagai berikut
a. Menghapus pahala amal baik, ( Q.S. Al-Baqarah ayat 264)
b. Mendapat dosa besar karena riya’ termasuk perbuatan Syirik kecil.
Sabda Rasulullah Saw:
اِنَّ اَخْوَفَ مَااَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ اْلاَصْغَرُ قَالُوْا يَارَسُوْلَ اللهِ
وَمَا الشِّرْكُ اْلاَصْغَرُ قَالَ الرِّيَاءُ (رواه أحمد)
Artinya:” Sesungguhnya perkara paling aku khawatirkan dari beberapa hal yang aku khawatirkan adalah syirik kecil. Sahabat bertanya, “ Apa syirik kecil itu, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Riya’” ( H.R Ahmad)
c. Tidak selamat dari bahaya kekafiran karena riya’ sangat dekat hubungannya dengan sikap kafir. (Q.S Al-Baqarah ayat 264).
2. Nifaq
Kata nifaq berasal dari kata: nafiqa alyarbu’, artinya lobang hewan sejenis tikus. Lobang ini ada dua, ia bisa masuk ke lobang satu kemudian keluar lewat lobang yang lain. Demikianlah gambaran keadaan orang-orang munafik, satu sisi menampakkan Islamnya, tetapi di sisi lain ia amat kafir dan menentang kepentingan Agama Islam.
Nifaq adalah perbuatan menyembunyikan kekafiran dalam hatinya dan menampakkan keimanannya dengan ucapan dan tindakan. Perilaku seperti ini pada hakikatnya adalah ketidaksesuaian antara keyakinan, perkataan, dan perbuatan. Atau dengan kata lain, tindakan yang selalu dilakukan adalah kebohongan, baik terhadap hati nuraninya, terhadap Allah Swt maupun sesama manusia. Pelaku perbuatan nifaq di sebut munafik. Firman Allah Swt.
وَإِذَا لَقُواْ الَّذِيْنَ اٰمَنُواْ قَالُواْ اٰمَنَّا وَإِذَا خَلَواْ إِلَى شَيَاطِينِهِمْ قَالُواْ إِنَّا مَعَكْمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ
Artinya:”Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: "Kami telah beriman." Dan bila mereka kembali kepada syaitan-setan mereka, mereka mengatakan: "Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok". (Q.S. 2 Al Baqarah 14)
Madrasah Kita
(Sebuah argumentasi awal untuk mengajak berdiskusi)
Oleh: Muhammad Helmi Aminudin*
Berawal
dari sebuah berita undangan kepada guru madrasah untuk mengikuti tes kelayakan
untuk menjadi kepala madrasah, yang beritanya begitu booming di berbagai grup Whats app yang saya ikuti, ternyata
peminatnya pun begitu banyak, dari berbagai kalangan baik guru ASN yang
mengajar di Negeri maupun di Swasta. Melihat fenomena ini ada sebuah kegalauan
yang begitu besar di hati ini melihat begitu banyak peminat untuk menjadi
seorang leader, kegalauan ini entah
berdasar atau tidak karena bagi saya pribadi sejak bangku Madrasah Ibtidaiyah
Sampai dengan Madrasah Aliyah, dari Marhalah Idadiyah sampai Marhalah
Mutaqoddimah, tidak pernah satu orang pun dari guru baik di sekolah ataupun di
Pesantren mengajarkan untuk mengejar sebuah kursi jabatan, bahkan Almagfurlah
guru besar saya KH Wahab Muhsin dan KH Syihabudin Muhsin, mewanti wanti, bahwa
jabatan adalah sebuah amanat dan sebuah beban yang harus dipertanggungjawabkan.
Hampir semua guru saya mencontohkan kepada situasi Syaidina Abu Bakar RA,
ketika berbicara tentang masalah kepemimpinan, dimana Beliau sama sekali tidak
mengharapkan menjadi seorang Khalifah walaupun semua umat islam baik Muhajirin
ataupun Ansor sepakat bahwa Beliau lah yang paling layak mengisi posisi
Khalifah, sampai sampai pada Waktu itu para pembesar Muhajirin dan Ansor
Seperti Saad bin Muadz dkk mengundurkan diri dan berjanji setia kepada Syaidina
Abu Bakar. Namun apa yang pertama kali diucapkan oleh Syaidina Abu Bakar,
Beliau mengucapkan Innalilahi wa Inna
Ilaihi Rojiun.
Perlu
diketahui bahwa Ucapan Innalilahi wa Inna
Ilaihi Rojiun dalam Islam seperti yang dicontohkan oleh Rasululah saw
adalah untuk merespon kejadian berupa Musibah. Dalam tafsir Jalalain pernah
diriwayatkan di rumah Rasululah saw lilin yang dipakai untuk penerangan rumah
Beliau padam, lalu Rasululah saw mengucapkan Innalilahi wa Inna Ilaihi Rojiun, kemudian Siti Aisyah bertanya
“Wahai rasulullah, ini hanya lilin yang padam”, lalu Rasul pun menjawab bahwa
“segala sesuatu yang tidak mengenakan bagi seorang muslim itu adalah musibah”
Jadi
berkaca dari dua hal tadi, bahwa Syaidina Abu Bakar mengucapkan Innalilahi wa Inna Ilaihi Rojiun. Yang
mana ucapan ini seperti yang Rasul sampaikan adalah ucapan untuk merespon sebuah
musibah,, maka dapat disimpulkan bahwa menurut Abu Bakar, sebuah tugas
kepemimpinan adalah sebuah musibah karena di dalamnya ada sebuah tanggung jawab
yang harus diemban, baik di dunia maupun di akherat. Setiap kalian adalah
pemimpin, dan setiap pemimpin akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya.
Kembali
lagi pada madrasah, memang studi kelayakan untuk menjadi seorang kepala
madrasah penting untuk dilakukan, dengan harapan tentunya akan menghasilkan
seorang pemimpin yang layak dan kompeten, baik dari segi leadership maupun administrasi. Hasil yang didapatkan dari fit
and propper test tersebut diharapkan
bukan hanya cakap secara administrasi, sehingga bisa menghasilkan seorang
pemimpin, bukan menghasilkan seorang pimpinan.
Mengutip
dari situs Kubik Leadership perbedaan antara Pemimpin dan Pimpinan adalah
1. Pimpinan bergantung pada otoritas dalam menggerakan anak
buahnya, sememtara Pemimpin bergantung pada niat baik untuk kebaikan
bersama.
2. Pimpinan menuntut hasil dan lepas tangan, sementara Pemimpin menunjukan jalan dan
mengambil tanggung jawab atas prosesnya.
3. Pimpinan dipatuhi karena rasa takut, sementara Pemimpin dipatuhi atas dasar kerelaan
hati.
4. Dalam
mencapai tujuan bersama, Pimpinan
menguras energi anak buahnya, sementasra Pemimpin
menjadi sumber energi.
5. Pimpinan memerintah, sementara Pemimpin mengajak.
Jadi jelas untuk menajdi seorang pemimpin bukan hanya mempunyai
kecakapan secara administrasi, namun juga harus mempunyai empati kepada
bawahannya, dipercayai bawahannya, bisa memberikan energi positif kepada anak
buahnya, dan dapat menjadi koordinator yang baik dalam organisasi yang dia
pimpin. Lalu ketika sebuah jabatan ditenderkan, maka disadari atau tidak maka
pemenang dari tender harus memuaskan hati dari pemberi tender, karena jika
pemberi tender tidak puas maka jabatan bisa diberikan kepada orang lain yang
menawarkan paket yang lebih menarik bagi pemberi tender.
Wallohu alam bissawab...
Wallohu alam bissawab...
Madrasahku 2
Menemani malam jumat ini, 13 Peruari
2020 mari kembali kita belajar menulis dan sedikit melanjutkan belajar
berargumen menyambung dari tulisan yang sudah tayang pada episode sebelumnya,
yang berjudul Madrasahku….
Apabila sebagian pembaca menilai
bahwa tulisan yang saya bawakan bersifat tendensius, ya saya jawab benar, namun
perlu diingat, bahwa arti tendensius tidak selalu bermakna negatif, karena
menurut KBBI tendensius mempunyai beberapa arti 1) keberpihakan 2) suka
menyusahkan. Saya sendiri lebih memilih arti kata tendensius sebagai
keberpihakan pada kebenaran. Ataupun jika mau maka makna yang kedua, mari kita
takwil sebagai suka menyusahkan orang yang ingin berbuat tidak berpihak pada
kebenaran.
Baiklahlah kita lanjutkan tulisan ini
agar tidak melantur kemana-mana.
Pernah suatu ketika, Syaidina Ali RA
diberikan pertanyaan oleh pengikutnya, karena melihat kondisi di masa
pemerintahan beliau sudah mulai timbul bibit perpecahan dan permusuhan di
antara umat islam, juga terjadi dekadensi dari segi moral dari umat islam.
Penanya tersebut membandingkan dengan priode kekhilafahan Syaidina Abu Bakar
RA.
Jawaban Syaidina Ali RA yang
legendaris sampai hari ini adalah “ Singa tidak akan memimpin kawanan tikus”.
Dengan jawaban tersebut seakan Syaidina Ali mengonfirmasi bahwa untuk
mendapatkan seorang pemimpin yang baik harus dimulai dengan memperbaiki kondisi
lingkungannya, dengan kondisi yang baik maka akan melahirkan pimpinan yang baik
pula. Dengan perkataan lain, pimpinan adalah representasi dari kondisi
lingkungannya.
Menyambung dengan tulisan pertama,
untuk melahirkan seorang pimpinan yang baik dan menjadi panutan di madrasah,
maka sebagai warga madrasah kita harus bisa bermuhasabah
sudah pantaskah kita mendapatkan pimpinan yang baik ketika kita sendiri hanya
sibuk memprotes telatnya insentif ataupun TPG, namun kita lupa kewajiban kita
sebagai pendidik yang bertugas memberikan pengalaman belajar pada siswanya dan
memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada meraka.
Mbah Moen, dalam sebuah Qoutes yang dikenal, beliau mengatakan
“jadi guru itu ndak usah niat bikin pintar orang, nanti kamu jadi marah kalau
muridmu gak pintar, ikhlasnya jadi hilang. Yang penting niat menyampaikan ilmu
dan mendidik yang baik”.
Dari Qoutes Mbah Moen ini jelas sudah mulai pudar di pendidik hari ini,
kalau dulu beliau melarang guru untuk memaksa siswa supaya mengerti dan pintar,
dengan tujuan supaya terpelihara nilai keikhlasan, maka hari ini semangat untuk
“memintarkan” anak pun sudah mulai hilang dengan selalu tiap bulan isu TPG,
ULP, dan tukin yang menjadi bahasan. Sudah hilang perbincangan yang terlarang
menurut Mbah Moen ketika guru membicarakan siswanya yang susah mengerti, telat
paham dan lain sebagainya, berganti dengan TPG dan tukin. Jadi sudah dapat
ditebak, jangankan berbicara keikhlasan dalam mengajar tentang HIRSUN memintarkan anak pun sudah tiada.
Padahal mengutip perkataan ketua MUI
Kab Tasikmalaya, KH Ii Abdul Basith, dalam berbagai kesempatan beliau selalu
memotivasi guru dengan perumpaan sebagai selebritas langit. Karena mereka nanti
akan dipanggil oleh para Malaikat. Adakah motivasi yang lebih baik daripada
itu?
Akhir kata, harus ada sinergitas yang
baik di semua stekholder madrasah, mengembalikan lagi spirit pendidik, dan
ingat pendidik adalah pekerjaan yang mulia, supaya dari madrsah lahir pemimpin
yang diharapkan, namun jika mentalitas belum berubah maka jangan diharap akan
menghasilkan pimpinan yang baik.
MADRASAH KITA
Posted by Editor
on February 13, 2020

Madrasah Kita
(Sebuah argumentasi awal untuk mengajak berdiskusi)
Oleh: Muhammad Helmi Aminudin*
*Guru MTsN 1