IHWAL PENDIDIKAN
YANG CERDAS
Oleh: Eneng
Sri Supriatin
(Bening
Kusumaningtiyas Az-Zahra)*
Pendidikan
merupakan faktor mendasar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan yang
bagaimanakah? Yaitu pendidikan yang mencerminkan citra diri yang berakhlakul karimah. Disisi lain
fenomena zaman sekarang, kecerdasan intelektual lebih mendominasi dibanding
dengan kecerdasan emosional (spiritual) yang dituju. Kecerdasan intelektual ini
sangat didambakan sekaligus diimpikan oleh setiap orang yang sedang menempuh
dunia pendidikan. Mereka saling berambisi tidak ayal saling beralibi memengaruhi
satu dengan lain agar memperoleh
kecerdasan sempurna dengan nilai tertinggi. Sungguh luar biasa kredibilitas ini mempertontonkan
pergulatan dalam dunia pendidikan yang menyiratkan persaingan. Hal tersebut
sangat menginspirasi para pelaku pendidik untuk memunculkan paradigma positif
tentang alur pendidikan yang sesuai dengan pedoman hidup kita Alquran, dibanding
nilai-nilai mendasar dibalik makna pendidikan sebenarnya.
Di
dunia pendidikan hal yang terpenting adalah bagaimana peran guru sebagai
sentral dalam pembelajaran. Guru harus menjadi pendidik yang bisa memberikan
pengajaran supaya anak mau belajar, serta dapat menumbuh kembangkan rasa cinta
dan keikhlasan diantara sesama. Rasa seperti itu akan muncul jika dirinya
pribadi (self-oriented) memiliki
karakter yang mencerminkan sifat-sifat tersebut terhadap peserta didik. Guru
tersebut menjadi panutan yang paling utama. Dalam memberikan pembelajaran, guru
tidak perlu dengan emosi negatif, melainkan
harus ada sinergi antara kecerdasan intelektual dengan kecerdasan
emosional. Sesuai dengan pendidikan yang diajarkan dalam Ayat Al-quran yang
artinya ”Dan
(Ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran
kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan
(Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”(Qs Luqman:13). Dari ayat tersebut dapat kita ambil
pokok pikiran sebagai berikut:1) orang tua wajib memberi pendidikan kepada
anak-anaknya, sebagaimana tugasnya, mulai dari melahirkan sampai akil balig, 2)
prioritas pertama adalah penanaman akidah dan akhlak, sebagai kerangka dasar
atau landasan dalam membentuk pribadi anak yang soleh, 3) dalam mendidik hendaknya menggunakan
pendekatan yang bersifat kasih sayang, sesuai makna seruan Lukman kepada
anak-anaknya, yaitu “Yaa Bunayyaa” (Wahai anak-anakku), seruan tersebut menyiratkan
muatan kasih sayang atau sentuhan kelembutan dan kemesraan, tetapi dalam
koridor ketegasan dan kedisplinan, bukan berarti mendidik dengan keras. Selanjutnya
dalam Al-quran Qs. Ar-Rahman: 1-4 yang artinya: “(Rabb)
Yang Maha Pemurah. Yang telah mengajarkan Al Qur’an. Dia menciptakan manusia. Mengajarnya
pandai berbicara /AI-Bayan”.
Kaitan kedua
ayat di atas dengan subjek pendidikan adalah sebagai berikut: Kata Ar-Rahman menunjukkan bahwa
sifat-sifat pendidik adalah murah hati, penyayang dan lemah lembut, santun dan
berakhlak mulia kepada anak didiknya dan siapa saja yang menunjukan
profesionalisasi pada kompetensi personal. Seorang guru hendaknya memiliki
kompetensi paedagogis yang baik sebagaimana Allah mengajarkan Al-quran kepada Nabi-Nya. Al-quran menunjukkan sebagai materi
yang diberikan kepada anak didik adalah kebenaran ilmu dari Allah. Keberhasilan pendidik adalah ketika
anak didik mampu menerima dan mengembangkan ilmu yang diberikan, sehingga
peserta didik menjadi generasi yang memiliki kecerdasan spiritual dan
kecerdasan intelektual, sebagaimana penjelasan Al-Bayan.
Maka dari itu kutipan Al-quran tersebut, apabila dimaknai secara implisit
menjelaskan bahwa pendidikan sebenarnya pendewasaan diri tentang mengkaji diri
dan mengaji rasa yang harus diimplementasikan oleh para pendidik dalam mengembangkan
keilmuannya. Tuntutan ini harus diyakini sebagai jembatan sepenuh hati agar proses pendidikan yang
bertujuan ingin mencerdaskan kehidupan bangsa terwujud dengan menghasilkan
kecerdasan emosional disamping kecerdasan intelektual. Sesuai dengan pendapat
Goleman dalam Surya bahwa konsep kecerdasan emosional sebagai sumber keunggulan
seseorang (2015:76). Hal senada pula diungkapkan oleh Surya, Muhamad bahwa kecerdasan
emosional ini merupakan keterpaduan antara unsur emosi dan rasio dalam
keseluruhan perilaku individu yang akan mengendalikannya ke arah yang lebih
bermakna dalam proses kelangsungan hidup (2015:76).
Beberapa
contoh pedidikan yang tidak dilandasi oleh kecerdasan emosional (spiritual)
dapat kita lihat pada kasus-kasus yang terjadi di lingkungan pendidikan baik di
media masa ataupun di media internet. Kasus penyiksaan dengan motif orientasi
pengenalan kampus yang dilakukan siswa maupun mahasiswa. Fakta ini bisa kita
lihat pada kasus terbunuhnya siswa SMA
Taruna Nusantara Magelang, Jawa Tengah yang menerapkan seleksi ketat bagi siswa
baik akademik maupun kejiwaan, namun character
values siswanya rapuh. Kemudian kasus Mapala UNISI Universitas Islam
Indonesia (UII) di desa Tlogodringo Tawangmangu Jakarta Tengah yang menewaskan
tiga orang peserta. Belum lagi kasus para penguasa yang berlaga di panggung
politik dengan unjuk gigi demi terwujudnya
ambisi pribadi. Lalu kasus anak SD yang dicabuli pendidik ataupun
sebaliknya. Yang seharusnya pendidik sebagai motivator kearah kesuksesan dunia
dan akhirat, malah sebaliknya. Itu semua cerminan dunia pendidikan dan aplikasi
di lapangan yang saling bertolak belakang tanpa ada dasar yang kokoh.
Dengan
demikian, pendidikan adalah sesuatu yang lebih banyak ditujukan kepada
perbaikan mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan, baik bagi keperluan
diri sendiri maupun orang lain. Pendidikan agama sangat berperan penting dalam
pembinaan moral dan akhlak untuk memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan
keyakinan akan agama dalam perilaku sehari-hari. Tetapi, pendidikan selain
agama pun harus terus di integrasikan dengan konteks karakter yang dapat
memunculkan kecerdasan emosional. Contohnya pendidikan sastra harus sampai
dapat memunculkan nilai karakter atau kecerdasan emosional dalam pribadi
peserta didik, yang nantinya teraplikasikan dalam diri masing-masing individu.
Oleh karena itu, pendidikan agama harus dilaksanakan melalui semua guru, orang
tua dan pihak masyarakat yang mempunyai perhatian dalam keimanan, amal soleh,
moral serta cara berpikir. Maka dari itu kecerdasan emosional sangat
memengaruhi pencapaian perilaku peserta didik dalam mengarungi bahtera
kehidupan ini. Konsep ini memuat sebuah bukti empiris dengan melakukan
pembelajaran, penelitian, dan percobaan dengan menggunakan akal untuk sampai
kepada simpulan tidak ada yang kekal di dunia ini, dan bahwa di balik peristiwa
dan ciptaan itu, wujud satu kekuatan dan kekuasaan yang Maha Besar. Pemikiran
ini adalah tujuan akhir dari semua yang dikerjakan oleh setiap manusia baik
pendidik maupun peserta didik agar menjadi manusia cerdas. Selamat mengajar![]
* Eneng Sri
Supriatin, S.Pd., dengan
nama penanya Bening Kusumaningtiyas
Az-Zahra Ibu dari tiga orang anak ( Naila Zahra R, M. Rizky Ramadhan R dan
Beryl Hamizan R ), lahir di
Tasikmalaya pada tanggal 18 Desember 1980.
Alumni Universitas Siliwangi (UNSIL) Kota
Tasikmalaya. Karya sajak dan cerpen
sempat termuat di surat Kabar Priangan,
di rubrik Budaya dan HU. Pikiran Rakyat,
di rubrik Khazanah. Adapun Antologi bersama yang sudah
terbit “Kampung Bulan”, “Indonesia dalam Titik 13”,dan “Antologi Puisi 100 Penulis
Perempuan KPPI.
Belajar menulis secara tidak langsung kepada kang Acep Zamzam Noor. Sempat aktif di UKM Teater 28. Sebagai guru Bahasa dan Sastra Indonesia
di Madrasah
Aliyah Negeri 1 (MAN) Sukamanah Sukarapih Sukarame Singaparna-Tasikmalaya dan kini tercatat sebagai mahasiswi
Program Bahasa dan Sastra Indonesia Pascasarjana IPI Garut.
Silahkan Baca juga:
Advertisement
0 Komentar:
Post a Comment