HAB KEMENAG DAN PROBLEMATIKA MADRASAH*
Oleh : Ai Riani Sofah**
Empat bulan lebih setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya, terjadi perdebatan sengit dalam sejarah antara ulama yang mewakili umat Islam dan kaum sekuler nasionalis. Perdebatan ini membahas penting atau tidaknya membentuk kementerian yang mengurus keumatan, akhirnya lahirlah kementerian agama, dulu namanya departemen agama, masuk dalam kabinet.
Kementerian hasil perjuangan umat Islam ini alhamdulillah sampai saat ini masih bertahan dan dipertahankan. Meskipun tidak sedikit kelompok yang merongrong bahkan ingin membubarkannya, kementerian yang tumbuh dari rahim bangsa yang religius ini tetap melakukan kiprahnya dalam membangun bangsa.
Januari 2019 kementerian agama genap berusia 73 tahun, hari jadi ini lebih populer dikenal sebagai Hari Amal Bakti (HAB) Kementerian Agama Republik Indonesia. Sejak kelahiran Republik ini, usia di atas 70 tahun kementerian agama diharapkan lebih dewasa dan berpengalaman dalam membentengi dan mengawal pembangunan sumber daya insani, terlebih dalam mendukung revolusi mental yang diusung pemerintah saat ini.
Revolusi mental yang dicanangkan pemerintah tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan satuan pendidikan madrasah. Satuan pendidikan di bawah binaan kemenag ini meliputi 4 jenjang yaitu: Raudhatul athfal (RA), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah ( MTs) dan Madrasah Aliyah ( MA). Dari keempat jenjang tersebut. Dari sekian banyak lembaga pendidikan binaan kemenag, sedikit sekali yang diselenggarakan oleh pemerintah (status negeri), bahkan tidak ada satu pun RA yang berstatus negeri.
Mayoritas satuan pendidikan binaan kemenag diselenggarakan oleh masyarakat (status swasta). Dengan segala keterbatasannya, madrasah telah banyak berkiprah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan memberi kontribusi besar dalam membina generasi bangsa yang beradab. Pembangunan manusia berkarakter, berbudaya dan beradab sangat dibutuhkan bangsa ini agar mampu menghadapi problematika dan distrupsi kemanusiaan abad milenial dan era revolusi industri 4.0. Manusia berkarakter bangsa Indonesia dibangun melalui 5 pilar utama, yaitu religiusitas nasionalisme, mandiri, integritas dan gotong-royong. Di sini peran madrasah menjadi sangat penting sebagai perisai mental kemanusiaan dan peradaban.
Sejatinya, meningkatnya jumlah madrasah di bawah binaan dan pengawasan kemenag, terutama madrasah yang diselenggakan mayarakat, selayaknya menjadi kekuatan yang ampuh untuk mewujudkan bangsa yang beriman, cerdas, terampil, sehat jasmani dan rohani, demokratis dan bertanggung jawab sebagaimana yang diamanatkan oleh pendidikan nasional. Tetapi pada kenyataannya, masih banyak ditemukan kesenjangan yang terjadi di madrasah, di antaranýa masalah kesejahteraan, mutu guru dan tata kelola madrasah.
Rendahnya Kesejahteraan Guru
Sungguh beruntung guru madrasah --terutama madrasah swasta, yang sudah mendapat tunjangan profesi, meskipun dibayarkannya sering tidak menentu. Di sisi lain, masih lebih banyak guru yang belum mendapatkan tunjangan tersebut terutama di sejumlah madrasah swasta. Dalam menjalankan kegiatannya, kebanyakan madrasah swasta mengandalkan bantuan operasional sekolah ( BOS) dari APBN, termasuk untuk gaji guru.
Jika dana BOS tidak lancar, dengan terpaksa gaji guru ditangguhkan sampai dana tersebut turun. Bisa dibayangkan jika mereka harus menghidupi keluarganya dan kebutuhan lain seperti membayar setoran rumah, leasing kendaraan dan yang lainnya hanya mengandalkan gaji yang diterimanya. Bisa dipahami jika mereka tidak mempunyai dana untuk mengembangkan profesi dan meningkatan mutu pembelajaran. Untuk diangkat menjadi pegawai negeripun sekarang sangat sulit dengan berbagai macam persyaratan yang ketat. Jadi soal kesejahteraan guru madrasah harus menjadi salah satu poin penting yang perlu perhatian serius dari kementetian agama.
Rendahnya Mutu Guru
Di beberapa daerah masih banyak ditemukan guru madrasah yang mismatch dan underqualified. Mismatch maksudnya tidak linier antara latar belakang akademik dengan mata pelajarana yang diampu di kelas, alias nyasar. Misalnya guru yang berlatarbelakang PAI mengampu mata pelajaran IPA, bahasa Inggris atau yang lainnya; guru mata pelajaran menjadi guru kelas atau sebaliknya. Di samping itu, masih banyak guru madrasah belum sarjana S1 atau D4 sebagaimana amanat Undang-undang Guru dan Dosen.
Rendahnya mutu guru madrasah disebabkan mereka tidak memiliki akses mengikuti diklat profesi yang berkelanjutan yang diselenggarakan oleh pemerintah. Diklatpun hanya terbatas bagi guru- guru PNS yang mayoritas mengajar di madrasah negeri. Akibatnya, maaf bukan permisif atau apologi, muncul kesenjangan kualitas antara guru madrasah negeri dan swasta, sehingga wajar jika madrasah swasta selalu ketinggalan dalam berbagai kesempatan.
Lemahnya Peran KKG/MGMP
Di samping minimnya akses diklat, rendahnya mutu guru madrasah, kesenjangan terjadi disebabkan oleh pakemnya forum guru seperti KKG/MGMP. Forum guru semacam itu gaungnya nyaris tidak terdengar, sepi. Nama wadahnya ada, tetapi terkesan jalan di tempat bahkan sudah mati suri. Pembentukan KKG/MGMP dianggap hanya tuntutan birokrasi bukan untuk mengembangan profesi. Oleh karena itu programnya musiman dan tidak berkelanjutan. Geliat ke arah revitalusasi dan oftimalisasi peran forum guru ini perlu dukungan kepala madrasah yang tergabung dalam Kelompok kerja madrasah (KKM) dan kelompok kerja pengawas (pokjawas) madrasah.
Lemahnya Tata Kelola
Di samping persoalan kesejahteraan dan mutu guru, Kementerian agama dengan jumlah madrasah yang besar menyisakan masalah rendahnya tata kelola pendidikan. Tata kelola pendidikan sangat erat hubungannya dengan kompetensi kepala madrasah dalam mengelola dan mengembangkan mutu madrasah.
Fungsi managerial, supervisi, dan kewirausahaan menjadi wajib dimiliki oleh seorang kepala. Apalagi kebijakan saat ini kepala sudah disetarakan dengan 24 jam pelajaran. Jadi tidak ada kewajiban mengajar minimal 6 jam pelajaran, kecuali dalam situasi tertentu jika diperlukan. Kepala madrasah seharusnya lebih serius mengembangkan madrasahnya menjadi madrasah berkualitas sesuai dengan visi dan misinya tanpa harus disibukkan dengan beban mengajar di kelas. Oleh karena itu ketiga fungsi ini melekat dalam tugas jabatan sebagai kepala.
Untuk mewujudkan madrasah bermutu tentu saja berawal dari sistem rekrutmen dan asesmen calon kepala sebagai nakodanya. Tentunya sistem rekrutmen kepala selayaknya dilaksanakan secara selektif berdasarkan kompetensi, kompetensi kepala, performan kinerja, dan penilaian lain, bukan berdasarkan kedekatan, keluarga, politik atau finansial. Asesmen calon kepala sebaiknya dilaksanakan secara terbuka, transparan serta mengedepankan kualitas, tidak sekedar formalitas. Jika tidak, maka madrasah harus siap menggali kuburannya sendiri.
Kelamaan duduk lupa berdiri, ungkapan itulah yang terjadi pada dorongan syahwat jabatan kepala madrasah saat ini. Maka, untuk melanggengkan kedudukannya segala cara bisa mereka dilakukan. Hal ini mungkin karena mereka sudah merasa berada pada zona nyaman dan tidak ingin kembali menjadi guru. Gejala traumatic syndrom ini sudah menggerogoti jabatan kepala madrasah. Regulasi tentang kepala madrasah selama ini diterapkan secara tarik ulur, terkesan setengah hati dan melanggengkan jabatan kepala. Oleh karena itu, diperlukan regulasi tentang periodisasi, penilaian, pemantauan secara periodik dan pengembangan berkelanjutan bagi kepala madrasah.
Keempat persoalan di atas menimbulkan dampak serius terhadap keberlangsungan dan eksistensi madrasah di tengah-tengah masyarakat sebagai pengguna jasa pendidikan. Bukan saja pada mutu madrasah, tetapi juga pada tingkat kepercayaan masyarakat terhadap madrasah itu sendiri. Terbukti, misalnya, banyak madrasah yang nasibnya diambang pintu kehancuran, laa yahya walaa yamut, hidup enggan mati pun tak mau. Seperti yang terjadi di beberapa daerah ada madrasah yang sudah gulung tikar dan beralih fungsi atau alih kelola.
Pemerintah dalam hal ini kementerian agama dengan segala kematangan dan pengalamannya, tidak terlalu euporia dengan banyaknya jumlah madrasah, seperti mudahnya mengeluarkan ijin operasional pendirian madrasah, tetapi dapat meningkatkan perhatian, pembinaan dan pengawasannya terhadap madrasah dengan berbagai permasalahannya. Dengan demikian, melalui HAB Kemenag ke 73 ini, ungkapan sakti bukan basa basi dari "madrasah lebih baik, lebih baik madrasah" menjadi " madrasah hebat bermartabat" akan segera terwujud. Amin, wallahu a'lam.
*)Disarikan dari hasil perbincangan informal penulis dengan Asep Saepulmillah,M.Ag, M.Pd, Pengawas Madrasah Kantor Kemenag Kabupaten Tasikmalaya, 3 Januari 3019.
**)Guru Mapel IPS pada MTsN 2 Tasikmalaya.
Silahkan Baca juga:
Advertisement
0 Komentar:
Post a Comment