Hikmah di
Balik Hidup Masyarakat Kampung Naga
Oleh: Dewi Aryanti, M.Pd.*
*Guru di MTsN 10 Tasikmalaya |
Kampung
ini sudah tidak asing lagi terdengar di telinga kita terutama bagi masyarakat
di wilayah Jawa Barat karena kekhasannya yang memegang teguh prinsip
kelestarian budaya leluhur. Makanya kampung ini dijadikan sebagai tempat wisata
budaya yang dinamakan Kampung Budaya Adat Kampung Naga.
Namun bila kita
menyempatkan waktu untuk mengamati dan menyimak kehidupan mereka ternyata
banyak hikmah dari konsep hidup yang bisa kita petik dari falsafah hidup
masyarakat Kampung Naga. Beberapa hikmah konsep hidup yang dapat diambil di
antaranya :
1. Hidup
bersama alam bukan hidup di alam
Konteks
tersebut sekilas sama namun hakikatnya berbeda. Bila hidup di alam berarti
hidup mereka seperti Tarzan yang notabene manusia hutan. Tapi jika hidup
bersama alam berarti hidup beriringan dan sejalan dengan tumbuhnya alam. Tidak
melakukan tindakan – tindakan yang merusak alam seperti membakar, memotong,
menjarah dan sebagainya yang jelas tidak melakukan kegiatan yang membuat nilai
guna/fungsi/manfaat hutan dan lingkungan sekitar berkurang. Mereka hidup
berdampingan dan tumbuh dengan alam saling menjaga, saling menyayangi dan
saling melestarikan sehingga tercipta keseimbangan alam. Makanya pantas
walaupun mereka hidup di lembah yang dikelilingi sungai, tidak pernah tercatat
dalam sejarah masyarakat Kampung Naga mengalami bencana banjir. Konsepnya jika
kita menyayangi alam maka alampun akan menyayangi kita dan tentunya alam akan
banyak memberikan manfaat bukan madharat.
2. Konsep
sami’na wa atho’na (Dengar dan turuti)
Diberitahu
(mendengar) dari para orangtua dan sesepuh tentang larangan-larangan yang salah
satunya tidak boleh mengambil apapun di
dalam hutan larangan maka mereka dengan taat akan mematuhinya karena mereka
yakin setiap apa yang dikatakan oleh leluhur pasti mengandung hikmah atau
kebaikan bagi kehidupan mereka sendiri (tidak akan mencelakakan). Konsep hidup
ini di zaman sekarang rasanya sangat jarang
kita lakukan, karena kita hidup di zaman yang kita rasa modern yang
kebiasanya berdebat/diskusi dalam menerima, melakukan dan menentukan sesuatu,
dunianya canggih dan penuh transparansi sehingga jika ada kata pamali terkadang mencibir dan menganggap
kolot. Padahal satu yang harus difahami, boleh jadi pengetahuan mungkin bisa
dikejar melalui buku dan teknologi tapi
harus di ingat yang namanya pengalaman berkaitan
dengan masalah waktu/usia. Siapapun orangnya tidak ada yang bisa menembus
waktu.
3. Prinsip
konvensional tapi pengetahuan modern
Dikampung
Naga tidak diperbolehkan ada listrik dan jamban di buat terpisah serta jumlah
dan bentuk rumah sudah di tentukan. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kerukunan
hidup dan rasa saling menghormati serta menyayangi antar warga masyarakat
Kampung Naga. Dikhawatirkan bila listrik masuk warga akan berlomba – lomba
untuk melengkapi rumahnya dengan alat elektronik atau teknologi canggih hingga
nantinya menimbulkan rasa kecemburuan dan iri hati warga lain yang kurang mampu
untuk membeli barang - barang
tersebut. Di samping itu, untuk menghindari
terjadinya kebakaran akibat korsleting lisrik karena kondisi struktur
rumah/bangunan yang menggunakan bahan mudah terbakar. Walaupun kondisi demikian, informasi apapun baik
mengenai masalah sosial, ekonomi bahkan politik nasional dan internasional
mereka ketahui. Dari mana informasi diperoleh? Ternyata hampir semua masyarakat
Kampung Naga penggemar dan pendengar radio yang aktif.
4. Tidak
apatis tapi humanis
Bentuk
rumah mereka diharuskan di buat sama bertujuan untuk menghindari sikap
menyombongkan diri dan mencegah orang lain/tetangga dihinggapi rasa iri karena
perbedaan kepunyaan/harta. Bahkan jendela rumah mereka sengaja dibuat
berhadap-hadapan yang bertujuan untuk mengetahui keadaan tetangga (sakit atau
sehat/ada atau tidak/kelaparan atau makan) dsb. Jika dilihat dalam kehidupan
masyarakat sekarang, mayoritas
justru yang ada saling berlomba-lomba memegahkan dan meninggikan rumah/bangunan
tanpa pernah memikirkan atau memperdulikan bagaimana kondisi/perasaan tetangga
di sekitar kita.
5. Tidak
individualis tapi gotong royong
Jika
ada salah satu tetangga mengalami musibah maka semua warga masyarakat akan
bergotong royong membantu. Misalkan ada rumah salah satu warga harus diperbaiki
karena rusak maka pengurus warga akan memusyawarahkan untuk waktu perbaikannya
ataupun kalau ada hajatan kampung pasti semua ikut berperan serta dalam
persiapan dan pelaksanaanya.
Silahkan Baca juga:
Advertisement
0 Komentar:
Post a Comment