Mengurai Benang Kusut Pendidikan
Pendidikan menjadi faktor yang sangat fundamental untuk kemajuan dan martabat bangsa. Salah satu indikator bangsa yang maju dan bermartabat adalah meningkatnya angka partisipasi masyarakat dalam mengakses pendidikan secara merata dan menyeluruh.
Diharapkan dengan meningkatnya sumber daya manusia terdidik akan mampu bersaing dengan bangsa lain dalam mengeksplorasi sumber daya yang tersedia
sehingga menjadi masyarakat yang kuat, cerdas dan sejahtera serta mampu menjawab tantangan globalitas. Oleh karena itu, perhatian terhadap kualitas pendidikan menjadi sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Kenyataannya, pendidikan kita belum mampu menjawab tantangan dan kebutuhan yang dihadapi masyarakat. Data menunjukkan bahwa indek mutu pendidikan kita selalu menempati urutan-urutan terbawah. Misalnya, dilaporkan oleh UNDP PBB pada 21 Maret 2017 di Stockholm tentang indek pengembangan manusia (Human Development Index) Indonesia hanya mampu berada di posisi ke-113 dari 188 negara di dunia pada tahun 2015. Berdasarkan survey oleh Political and Economic Risk Consultant (PERC) dilaporkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan terakhir dari 12 negara di Asia dan posisinya di bawah Vietnam. Lembaga penelitian asal Swiss International Institute for Management Development ( IMD) Tahun 2018, melaporkan Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-43 dari 63 negara. Masih menurut survey dari lembaga tersebut Indonesia hanya berpredikat sebagai pengikut (follower) bukan sebagai pemimpin (leader) teknologi dari 53 negara di dunia.
Memang sungguh ironis dan menyayat hati, era tahun 50-an Malaysia mengirimkan para mahasiswanya ke Indonesia atau mengimpor guru dari Indonesia. Tahun 2003 negara jiran tersebut sekarang menjadi tujuan studi bagi mahasiswa negara kita bahkan menempati urutan ke 58 dari 175. Negeri jiran lainnya seperti Singapura, konon mencontoh konsep pendidikan yang dicetuskan oleh Bapak pendidikan kita Ki Hajar Dewantara dengan Tri Pusat Pendidikannya, mampu menempati urutan ke-28. Memang lucu kedengarannya.
Sebenarnya, pada tataran praktis, pendidikan di negeri kita masih menyimpan setumpuk masalah yang perlu dibenahi dengan serius oleh pihak yang berkepentingan terhadap nasib masa depan anak bangsa.
Sekolah Untuk Siapa?
Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan pembelajaran yang layak dan terjangkau tanpa diskriminasi. Mahalnya biaya pendidikan saat ini menjadi kendala terutama bagi masyarakat berkekurangan (miskin) yang merupakan mayoritas masyarakat kita. Sekolah dan perguruan tinggi berlomba-lomba menaikan tarif biaya pendidikan di awal masuk yang tidak terjangkau oleh masyarakat miskin. Akibatnya, pendidikan yang berkualitas tinggi bagi orang yang memiliki akses ekonomi dan politik yang cukup. Sedangkan orang miskin walupun cerdas luar biasa hanya mampu berangan-angan. Meningkatnya angka putus sekolah salah satu akibat dari mahalnya biaya pendidikan. Benarkah orang miskin dilarang sekolah?
Ingin Pintar Harus Bayar!
Pendidikan gratis! Ungkapan itu kedengarannya terlalu berlebihan, hanyalah jargon politik yang bertujuan untuk menarik simpati dan dukungan masyarakat. Meskipun tidak gratis yang penting dapat terjangkau oleh masyarakat. Tetapi kalau pemerintah bermaksud memberikan akses pendidikan yang berkualitas secara merata bagi seluruh warga negara, why not?
Jika pendidikan gratis, mengapa masih harus bayar SPP, uang pembangunan, buku paket dan LKS, ujian, kesiswaan dan lain-lain. Ada sekolah yang tidak memungut biaya tersebut tetapi diganti dengan bentuk dan nama yang berbeda. Diharapkan tidak terulang kembali ada siswa ditahan gara-gara belum membayar keuangan ujian nasional; ijazahnya ditahan karena belum membayar biaya pendidikan. Tidak terdengar lagi ada siswa sampai gantung diri gara-gara malu belum bayar iuran kegiatan ektra kurkuler seperti dilakukan Yanto, siswa SD dari Garut, atau ada yang nekad gantung diri gara-gara tidak mampu bayar SPP seperti Miftahul Jannah, bocah 13 tahun dari Geresik . Seharusnya biaya pendidikan dengan anggaran 20% dari APBN semakin menurun namun program tersebut belum dapat dirasakan secara semestinya oleh rakyat.
Sekolahku Sayang, Sekolahku Malang
Ingat judul roman “Robohnya Surau Kami” karya Hamka, berubah menjadi “Robohnya Sekolah Kami” menginspirasikan penulis ketika melihat banyaknya gedung sekolah yang rusak dan roboh akibat bencana alam seperti banyak diberitakan media. Kerusakan paling parah terjadi pada tingkat SD dan MI. Sekolah yang roboh akibat banjir dan gempa mungkin bisa dimaklumi. Namun apabila sekolah roboh tak ada angin tak ada badai sungguh ajaib. Jadi patut dipertanyakan kekuatan kondisi bangunan yang belum direhab.
Dari data Balitbang Depdiknas (2003) disebutkan dari 146.052 SD dengan 865.258 ruang kelas, sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Tingkat kerusakan gedung MI diperhitungkan lebih tinggi lagi. Provinsi Jawa Barat pernah menjadi peringkat pertama di Indonesia yang memiliki jumlah sekolah rusak terbanyak. Hal ini berdampak pula terhadap rendahnya angka partisipasi pendidikan formal di Jawa barat.
Di samping kerusakan gedung dan kelas, sarana prasarana yang dimiliki sekolah seperti perpustakaan, laboratorium, media pembelajaran jauh tidak memadai menurut standar sekolah saat ini. Masih juga ditemukan banyak sekolah yang gedungnya masih numpang dan menjadi lahan sengketa; banyak sekolah terutama SD proyek inpres atau SMP satu atap di bangun di tempat terpencil dari masyarakat dan biasanya dekat dengan kuburan sehingga dapat mengganggu kenyamanan pendidik dan peserta didiknya. Kita hanya bisa berharap bantuan pembanguan ruang kelas baru dapat memperkokoh gedung sekolah kita.
Bongkar Pasang Kurikulum
Pomeo mengatakan: “ganti menteri, ganti kebijakan dan ganti kurikulum” sedikit ada benarnya. Sejatinya, perubahan kurikulum dirancang untuk kepentingan masyarakat guna menyesuaikan diri dengan tuntutan kehidupan. Tetapi, sebagai bagian strategis dari proses pendidikan, kurikulum hendaknya tidak mudah berganti sesuai dengan selera pejabat negara. Jika kurikulum terlalu sering berubah-ubah dapat membingungkan para pendidik; dan peserta didik seolah-olah menjadi kelinci percobaan dalam implementasi kurikukum di sekolah.
Kebijakan mendiknas untuk memperbaiki mutu pendidikan nasional,- antara lain- dengan membenahi kurikulum. Namun rencana tersebut harus diikuti dengan ketersediaan sarana dan prasarana sesuai dengan standar pelayanan minimal sekolah supaya kurikulum dapat membumi. Jika tidak, maka pejabat Negara bidang pendidikan berikutnya bakal “mengutak-atik” kurikulum tersebut.
Mungkin hanya Indonesia satu-satunya Negara yang dalam kurun waktu hampir bersamaan menggunakan tiga jenis kurikulum: kurikulum 1994, kurikulum 2004 (KBK) dan kurikulum 2006 (KTSP) sekarang. Dengan adanya perbedaan kurikulum untuk generasi yang hampir bersamaan, bisa dibayangkan bagaimana gamangnya arah dan visi pendidikan nasional kita ketika aspek kesinambungan terabaikan. Hal ini merupakan tanda-tanda tidak ada perhitungan yang matang dalam hal kebijakan kurikulum selama ini.
Bisa saja muncul anggapan bahwa perubahan kurikulum dari waktu ke waktu lebih bersifat proyek tanpa memperhatikan aspek urgensi, substansi dan implementasinya. Analoginya mirip dengan terapi yang salah dalam mengobati penyakit, yang gatal kaki yang diobati kepala, lucu memang. Yang lebih lucunya lagi perubahan kurikulum menjadi ladang bisnis bagi pihak-pihak tertentu karena setiap kurikulum berubah maka buku ajar dan perangkat pembelajaranpun ikut berganti.
Profesionalisme Guru
Di negara-negara maju seperti Amerika, Inggris dan Jepang, posisi guru menempati urutan pertama sebagai profesi yang diminati sebab sangat dihargai secara proporsional. Sedangkan di Indonesia menjadi guru merupakan pilihan terakhir setelah gagal mencari pekerjaan lain yang lebih baik. Hal ini terjadi pula di perguruan tinggi, bahwa animo masyarakat memilih fakultas keguruan masih di bawah fakultas teknik, ekonomi dan kedokteran. Lebih parah lagi, image masyarakat terhadap profesi guru lebih rendah dibanding profesi lain yang lebih menjanjikan dapat menghasilkan uang.
Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya. Pasal 39 UU No 20/2003 menyebutkan bahwa tugas guru adalah merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Di samping itu, masalah kelayakan mengajar, kesejahteraan dan penyebaran guru masih menjadi pekerjaan rumah bersama.
Pertama, kelayakan mengajar itu berhubungan dengan tingkat pendidikan dan bidang ilmu yang diperolehnya. Ditemukan banyak guru yang belum memenuhi persyaratan akademik (underqualified) yang semestinya, yaitu pendidikan diploma D4 atau Sarjana (S1) dan masih ditemukan banyak guru yang belum memiliki sertifikat pendidik sebagai syarat kelayakan sebagai tenaga pendidik.
Di samping itu, adanya ketidaksesuaian (mismatch) antara latar belakang keilmuan dengan mata pelajaran yang diampu. Padahal mereka tidak dbekali dengan teori-teori pegagogik yang memadai.
Kedua, rendahnya tingkat kesejahteraan guru memengaruhi rendahnya kualitas guru dan pengajar. Dengan pendapatan yang rendah (low paid), terang saja, banyak guru terpaksa mencari nafkah sampingan untuk biaya hidup. Walaupun program sertifikasi guru dan dosen tengah diberlakukan, masih terjadi kesenjangan kesejahteraan bagi guru sekolah swasta untuk mencapai taraf ideal karena yayasan tidak mampu menyesuaikan kesejahteraan guru/dosen sesuai dengan amanat undang-undang.
Ketiga, masalah penyebaran guru yang tidak proporsional di satu sekolah atau satu wilayah. Sering terjadi ketidakseimbangan jumlah guru di satu sekolah dengan sekolah lainnya. Guru dengan latar pendidikan tertentu bertumpuk di satu sekolah sedangkan di sekolah lainnya kekurangan. Hal seperti ini banyak terjadi terutama di sekolah-sekolah di pedesaan sehingga satu orang guru harus mengajar di beberapa kelas sekaligus dengan mata pelajaran berbeda. Jika ini terjadi, sungguh tak bisa dibayangkan bagaimana kualitas proses pembelajaran peserta didiknya. Kesalahan ini terletak pada analisis pemetaan (mapping analysis) kebutuhan guru di suatu wilayah atau satuan pendidikan.
Pendidikan menjadi faktor yang sangat fundamental untuk kemajuan dan martabat bangsa. Salah satu indikator bangsa yang maju dan bermartabat adalah meningkatnya angka partisipasi masyarakat dalam mengakses pendidikan secara merata dan menyeluruh.
Diharapkan dengan meningkatnya sumber daya manusia terdidik akan mampu bersaing dengan bangsa lain dalam mengeksplorasi sumber daya yang tersedia
sehingga menjadi masyarakat yang kuat, cerdas dan sejahtera serta mampu menjawab tantangan globalitas. Oleh karena itu, perhatian terhadap kualitas pendidikan menjadi sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Kenyataannya, pendidikan kita belum mampu menjawab tantangan dan kebutuhan yang dihadapi masyarakat. Data menunjukkan bahwa indek mutu pendidikan kita selalu menempati urutan-urutan terbawah. Misalnya, dilaporkan oleh UNDP PBB pada 21 Maret 2017 di Stockholm tentang indek pengembangan manusia (Human Development Index) Indonesia hanya mampu berada di posisi ke-113 dari 188 negara di dunia pada tahun 2015. Berdasarkan survey oleh Political and Economic Risk Consultant (PERC) dilaporkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan terakhir dari 12 negara di Asia dan posisinya di bawah Vietnam. Lembaga penelitian asal Swiss International Institute for Management Development ( IMD) Tahun 2018, melaporkan Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-43 dari 63 negara. Masih menurut survey dari lembaga tersebut Indonesia hanya berpredikat sebagai pengikut (follower) bukan sebagai pemimpin (leader) teknologi dari 53 negara di dunia.
Memang sungguh ironis dan menyayat hati, era tahun 50-an Malaysia mengirimkan para mahasiswanya ke Indonesia atau mengimpor guru dari Indonesia. Tahun 2003 negara jiran tersebut sekarang menjadi tujuan studi bagi mahasiswa negara kita bahkan menempati urutan ke 58 dari 175. Negeri jiran lainnya seperti Singapura, konon mencontoh konsep pendidikan yang dicetuskan oleh Bapak pendidikan kita Ki Hajar Dewantara dengan Tri Pusat Pendidikannya, mampu menempati urutan ke-28. Memang lucu kedengarannya.
Sebenarnya, pada tataran praktis, pendidikan di negeri kita masih menyimpan setumpuk masalah yang perlu dibenahi dengan serius oleh pihak yang berkepentingan terhadap nasib masa depan anak bangsa.
Sekolah Untuk Siapa?
Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan pembelajaran yang layak dan terjangkau tanpa diskriminasi. Mahalnya biaya pendidikan saat ini menjadi kendala terutama bagi masyarakat berkekurangan (miskin) yang merupakan mayoritas masyarakat kita. Sekolah dan perguruan tinggi berlomba-lomba menaikan tarif biaya pendidikan di awal masuk yang tidak terjangkau oleh masyarakat miskin. Akibatnya, pendidikan yang berkualitas tinggi bagi orang yang memiliki akses ekonomi dan politik yang cukup. Sedangkan orang miskin walupun cerdas luar biasa hanya mampu berangan-angan. Meningkatnya angka putus sekolah salah satu akibat dari mahalnya biaya pendidikan. Benarkah orang miskin dilarang sekolah?
Ingin Pintar Harus Bayar!
Pendidikan gratis! Ungkapan itu kedengarannya terlalu berlebihan, hanyalah jargon politik yang bertujuan untuk menarik simpati dan dukungan masyarakat. Meskipun tidak gratis yang penting dapat terjangkau oleh masyarakat. Tetapi kalau pemerintah bermaksud memberikan akses pendidikan yang berkualitas secara merata bagi seluruh warga negara, why not?
Jika pendidikan gratis, mengapa masih harus bayar SPP, uang pembangunan, buku paket dan LKS, ujian, kesiswaan dan lain-lain. Ada sekolah yang tidak memungut biaya tersebut tetapi diganti dengan bentuk dan nama yang berbeda. Diharapkan tidak terulang kembali ada siswa ditahan gara-gara belum membayar keuangan ujian nasional; ijazahnya ditahan karena belum membayar biaya pendidikan. Tidak terdengar lagi ada siswa sampai gantung diri gara-gara malu belum bayar iuran kegiatan ektra kurkuler seperti dilakukan Yanto, siswa SD dari Garut, atau ada yang nekad gantung diri gara-gara tidak mampu bayar SPP seperti Miftahul Jannah, bocah 13 tahun dari Geresik . Seharusnya biaya pendidikan dengan anggaran 20% dari APBN semakin menurun namun program tersebut belum dapat dirasakan secara semestinya oleh rakyat.
Sekolahku Sayang, Sekolahku Malang
Ingat judul roman “Robohnya Surau Kami” karya Hamka, berubah menjadi “Robohnya Sekolah Kami” menginspirasikan penulis ketika melihat banyaknya gedung sekolah yang rusak dan roboh akibat bencana alam seperti banyak diberitakan media. Kerusakan paling parah terjadi pada tingkat SD dan MI. Sekolah yang roboh akibat banjir dan gempa mungkin bisa dimaklumi. Namun apabila sekolah roboh tak ada angin tak ada badai sungguh ajaib. Jadi patut dipertanyakan kekuatan kondisi bangunan yang belum direhab.
Dari data Balitbang Depdiknas (2003) disebutkan dari 146.052 SD dengan 865.258 ruang kelas, sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Tingkat kerusakan gedung MI diperhitungkan lebih tinggi lagi. Provinsi Jawa Barat pernah menjadi peringkat pertama di Indonesia yang memiliki jumlah sekolah rusak terbanyak. Hal ini berdampak pula terhadap rendahnya angka partisipasi pendidikan formal di Jawa barat.
Di samping kerusakan gedung dan kelas, sarana prasarana yang dimiliki sekolah seperti perpustakaan, laboratorium, media pembelajaran jauh tidak memadai menurut standar sekolah saat ini. Masih juga ditemukan banyak sekolah yang gedungnya masih numpang dan menjadi lahan sengketa; banyak sekolah terutama SD proyek inpres atau SMP satu atap di bangun di tempat terpencil dari masyarakat dan biasanya dekat dengan kuburan sehingga dapat mengganggu kenyamanan pendidik dan peserta didiknya. Kita hanya bisa berharap bantuan pembanguan ruang kelas baru dapat memperkokoh gedung sekolah kita.
Bongkar Pasang Kurikulum
Pomeo mengatakan: “ganti menteri, ganti kebijakan dan ganti kurikulum” sedikit ada benarnya. Sejatinya, perubahan kurikulum dirancang untuk kepentingan masyarakat guna menyesuaikan diri dengan tuntutan kehidupan. Tetapi, sebagai bagian strategis dari proses pendidikan, kurikulum hendaknya tidak mudah berganti sesuai dengan selera pejabat negara. Jika kurikulum terlalu sering berubah-ubah dapat membingungkan para pendidik; dan peserta didik seolah-olah menjadi kelinci percobaan dalam implementasi kurikukum di sekolah.
Kebijakan mendiknas untuk memperbaiki mutu pendidikan nasional,- antara lain- dengan membenahi kurikulum. Namun rencana tersebut harus diikuti dengan ketersediaan sarana dan prasarana sesuai dengan standar pelayanan minimal sekolah supaya kurikulum dapat membumi. Jika tidak, maka pejabat Negara bidang pendidikan berikutnya bakal “mengutak-atik” kurikulum tersebut.
Mungkin hanya Indonesia satu-satunya Negara yang dalam kurun waktu hampir bersamaan menggunakan tiga jenis kurikulum: kurikulum 1994, kurikulum 2004 (KBK) dan kurikulum 2006 (KTSP) sekarang. Dengan adanya perbedaan kurikulum untuk generasi yang hampir bersamaan, bisa dibayangkan bagaimana gamangnya arah dan visi pendidikan nasional kita ketika aspek kesinambungan terabaikan. Hal ini merupakan tanda-tanda tidak ada perhitungan yang matang dalam hal kebijakan kurikulum selama ini.
Bisa saja muncul anggapan bahwa perubahan kurikulum dari waktu ke waktu lebih bersifat proyek tanpa memperhatikan aspek urgensi, substansi dan implementasinya. Analoginya mirip dengan terapi yang salah dalam mengobati penyakit, yang gatal kaki yang diobati kepala, lucu memang. Yang lebih lucunya lagi perubahan kurikulum menjadi ladang bisnis bagi pihak-pihak tertentu karena setiap kurikulum berubah maka buku ajar dan perangkat pembelajaranpun ikut berganti.
Profesionalisme Guru
Di negara-negara maju seperti Amerika, Inggris dan Jepang, posisi guru menempati urutan pertama sebagai profesi yang diminati sebab sangat dihargai secara proporsional. Sedangkan di Indonesia menjadi guru merupakan pilihan terakhir setelah gagal mencari pekerjaan lain yang lebih baik. Hal ini terjadi pula di perguruan tinggi, bahwa animo masyarakat memilih fakultas keguruan masih di bawah fakultas teknik, ekonomi dan kedokteran. Lebih parah lagi, image masyarakat terhadap profesi guru lebih rendah dibanding profesi lain yang lebih menjanjikan dapat menghasilkan uang.
Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya. Pasal 39 UU No 20/2003 menyebutkan bahwa tugas guru adalah merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Di samping itu, masalah kelayakan mengajar, kesejahteraan dan penyebaran guru masih menjadi pekerjaan rumah bersama.
Pertama, kelayakan mengajar itu berhubungan dengan tingkat pendidikan dan bidang ilmu yang diperolehnya. Ditemukan banyak guru yang belum memenuhi persyaratan akademik (underqualified) yang semestinya, yaitu pendidikan diploma D4 atau Sarjana (S1) dan masih ditemukan banyak guru yang belum memiliki sertifikat pendidik sebagai syarat kelayakan sebagai tenaga pendidik.
Di samping itu, adanya ketidaksesuaian (mismatch) antara latar belakang keilmuan dengan mata pelajaran yang diampu. Padahal mereka tidak dbekali dengan teori-teori pegagogik yang memadai.
Kedua, rendahnya tingkat kesejahteraan guru memengaruhi rendahnya kualitas guru dan pengajar. Dengan pendapatan yang rendah (low paid), terang saja, banyak guru terpaksa mencari nafkah sampingan untuk biaya hidup. Walaupun program sertifikasi guru dan dosen tengah diberlakukan, masih terjadi kesenjangan kesejahteraan bagi guru sekolah swasta untuk mencapai taraf ideal karena yayasan tidak mampu menyesuaikan kesejahteraan guru/dosen sesuai dengan amanat undang-undang.
Ketiga, masalah penyebaran guru yang tidak proporsional di satu sekolah atau satu wilayah. Sering terjadi ketidakseimbangan jumlah guru di satu sekolah dengan sekolah lainnya. Guru dengan latar pendidikan tertentu bertumpuk di satu sekolah sedangkan di sekolah lainnya kekurangan. Hal seperti ini banyak terjadi terutama di sekolah-sekolah di pedesaan sehingga satu orang guru harus mengajar di beberapa kelas sekaligus dengan mata pelajaran berbeda. Jika ini terjadi, sungguh tak bisa dibayangkan bagaimana kualitas proses pembelajaran peserta didiknya. Kesalahan ini terletak pada analisis pemetaan (mapping analysis) kebutuhan guru di suatu wilayah atau satuan pendidikan.
Ai riani sofah, S.Pd Guru IPS MTs N 2 Tasikmalaya |
Silahkan Baca juga:
Advertisement
Mudah2n bermanfaat....
ReplyDelete