Kumpulan Puisi Bening Kusumaningtiyas Az-Zahra

 Kumpulan Puisi Bening Kusumaningtiyas Az-Zahra*

KISAH BULAN DAN BINTANG

Bulan lelah mengusir kabut
Bintang ngantuk batuk-batuk
Bulan memandang purnama
Bintang memejamkan mata.
             Malam merayap pelan
             Mengunggis hati. Pagi
             Datang menagih mimpi
             Siang bergerak lamban
Bulan membaca gelisah
Bintang. Bulan lebur
Di napas Bintang
Jadi serbuk abu
            Bulan yang jadi abu
            Bintang yang jadi wajan
            Abu digosokkan ibu
            Pada wajan. Wajan
Bersih. Abu hanyut di selokan
Bersama buih hidup dan kehidupan.
Bintang yang kini bersih, perlu serbet
Untuk menyeka tubuhnya yang baru.


Tapi tak ada yang mampu jadi serbet
Hari-hari datang tanpa permisi; Bintang
Yang jadi wajan, rindu Bulan. Bulan yang
Jadi abu tak bisa kembali ke pangkuannya

2018


RAKYAT BUKANLAH SERBET


Bung, ini zaman merdeka
Rakyat bukanlah serbet
Bagi mereka yang mencret
Di setiap proyek yang macet

Bung, negeri ini lahir dari rakyat
Mereka yang korupsi dengan dalih
Demi kesejahteraan rakyat; tak pantas
Minta rakyat untuk bayar utang negara

2018

BASKARA ITU KAU


Aku hanya mengerti bahwa cinta itu rasa
Bukan alibi. Aku hanya mengerti bahwa
Rasa itu warna; bukan manipulasi. Aku
Hanya tahu bahwa cintaku padamu, cinta
Terbaik yang tak pernah aku berikan pada
Siapa pun. Aku hanya tahu kaulah muara
Yang kutuju sampai batas usia merenggut.
Aku hanya ingin kau tahu satu hal, bahwa
Bulan bisa jadi purnama sebab baskara.
“Ssst, ini rahasia; baskara itu kau kekasih!”

2018


SEUMPAMA ISI HATI


Kasatmata dalam selam
Tapi enigma jika masuk
Pada kedalamannya

Palung laut
Seumpama isi hati

Siapa mengeja hari
Hanya pribadi
Yang ngerti!

2018

SEOLAH ANGAN

Seekor merpati laut
Melintas di atas ubun-ubun
Siapa pun tak mampu membaca
Kepergiannya ke arah utara

Ia terbang membelah lautan
Menuju negeri entah; seperti
Tubuhku yang ingin pergi
Ke tempat yang tak terduga

Dalam peta, sekedar ingin istirah
Dari penatnya dunia, tapi tugasku
Belum usai di bumiNya. Seekor

Merpati laut yang terbang
Seolah angan yang datang
Semana suka; bujuk laku!

2018


Eneng Sri Supriatin pemilik nama pena Bening Kusumaningtiyas Az-Zahra, lahir di Tasikmalaya pada tanggal 18 Desember 1981. Puisi, Cerpen dan Artikel sastranya sempat terpublikasikan di media cetak baik terbitan Nasional, Daerah dan Lokal. Disamping itu puisi-puisnya termuat juga dalam beberapa antologi bersama, baik yang diterbitan oleh  pemerintah daerah, komunitas mau pun penerbit nirlaba. Antologi puisi tunggalnya, Kalam dari Arafah (PMS, 2017) Kini kesehariannya menjadi tenaga pendidik di MAN Sukamanah Singaparna sebagai guru Sastra dan Seni Indonesia.

























Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Melalui Jurnal Reflektif

Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Melalui Jurnal Reflektif

Ai Riani Sofah
Guru IPS pada MTsN 2 Tasikmalaya
Sebagai perancang pembelajaran (learning designer), guru dituntut melakukan upaya perbaikan yang terus menerus secara komprehensif  supaya pembelajaran  menjadi bermakna dan berkualitas, baik proses maupun hasil belajarnya. Bagi guru kegiatan  pembelajaran bukan  asal menyampaikan materi, tetapi  dia harus selalu jeli mengamati dan mengidentifikasi  kekurangan dan kelebihan dalam kegiatan pembelajaran yang telah dilaksanakan dengan melakukan evaluasi diri  berupa jurnal reflektif. Namun, tidak semua guru melakukan refleksi atau me-review  atas pembelajaran yang telah dilaksanakannya mungkin karena malas atau belum mengetahui manfaatnya.

Ada beberapa pertanyaan  yang dapat membantu  dalam membuat jurnal. Apakah kegiatan pembelajaran tersebut sesuai dengan perencanaan sebelumnya sebagaimana tertuang dalam RPP? Apakah kegiatannya mendorong siswa belajar aktif, kreatif dan menyenangkan? Lalu  bagaimana ketercapaian hasil belajar yang diharapkan? Masih adakah kelemahan yang  perlu perbaikan? Langkah-langkah apakah yang harus dilakukan dalam pembelajaran berikutnya?  Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan reflektif tersebut sebaiknya dicatat dan didokumentasikan  dalam bentuk jurnal sebagai dasar atau acuan perbaikan pembelajaran berikutnya.

Jadi, jurnal reflektif pembelajaran merupakan  catatan  atau rekaman hasil refleksi seorang guru atas pembelajaran yang telah dilaksanakan  dalam bentuk evaluasi diri. Penulisan jurnal reflektif ditujukan untuk meningkatkan kualitas  pembelajaran baik dilihat dari segi proses maupun hasil belajar. Hasil refleksi tersebut dijadikan  sebagai  acuan untuk memperbaiki perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pembelajaran berikutnya.

Sedikitnya ada  3 unsur  atau tahapan yang terdapat  dalam jurnal reflektif yang dikenal dengan  yaitu DEF ( Description, Evaluation, Follow up). Pertama, pada tahapan deskripsi yaitu  menjelaskan tentang  kegiatan pembelajaran secara keseluruhan dari  aspek perencanaan, materi yang disajikan, metode  yang diterapkan,  media  yang digunakan,  kegiatan dan respon siswa sampai pada evaluasi. Kedua, tahapan evaluasi, yaitu membuat keputusan secara kualitatif terhadap kegiatan pembelajaran dengan menentukan aspek mana yang sudah baik atau yang masih perlu diperbaiki.  Ketiga tahapan rencana tindak lanjut, yaitu upaya revisi atau perbaikan atas kekurangan pada kegiatan pembelajaran sebelumnya untuk  kegitan berikutnya.

Akhirnya,  semakin sering guru  melakukan refleksi yang tepat atas pembelajaran dalam bentuk jurnal refleksi, maka  semakin banyak temuan-temuan kreatif dan inovatif sehingga kualitas pembelajaran semakin baik. Selamat mencoba. Wassalam.

Implementasi Jiwa Nasionalisme dan Patriotisme Pada Diri Siswa

 IMPLEMENTASI JIWA NASIONALISME DAN PATRIOTISME PADA DIRI SISWA
Oleh : HENDAR, S.Pd., M.Si
Guru MTsN 3 Tasikmalaya Tasikmalaya
Sudah saatnya di era reformasi ini para siswa memiliki jati diri untuk menerapkan dan menumbuhkembangkan jiwa nasionalisme dan patriotisme baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun di lingkungan masyarakat.  Hal ini terkait dengan salah satu tujuan pendidikan nasional yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Ketika para siswa di didik dan di bina si sekolah tentu harus diarahkan dan diterapkan pada proses pembelajaran yang erat kaitannya dengan sikap nasionalisme dan patriotisme.

Nasionalisme bersumber dari kata "nasional" dan "isme" yaitu paham kebangsaan yang memiliki arti: semangat dan kesadaran cinta tanah air, memelihara kehormatan bangsa, mempunyai kebanggaan sebagai penduduk bangsa, mempunyai rasa solidaritas kepada musibah dan kekeluargaan terhadap saudara sebangsa dan senegaranya.
Patriotisme berasal dari kata "Patriot" dan "isme" dalam bahasa Indonesia yang berarti jiwa kepahlawanan atau sifat kepahlawanan. serta kata "Patriotism" dalam bahasa Inggris yang berarti sikap pantang menyerah, gagah berani, dan rela berkorban demi bangsanya. Patriotisme merupakan sikap yang bersumber dari perasaan cinta tanah air, sehingga menimbulkan rasa rela berkorban untuk bangsanya.

Nilai-nilai patriotisme dan nasionalisme dapat diterapkan dalam berbagai lingkungan kehidupan yang cakupannya meliputi keluarga, sekolah, masyarakat, negara dan bangsa. Bentuk paling menonjol dari penerapan nilai-nilai tersebut adalah berani berkorban untuk memajukan masyarakat, bangsa maupun negara. Agar dapat menerapkan nilai patriotisme dan nasionalisme, seseorang harus mengutamakan kepentingan bersama diatas kepentingan pribadi maupun golongan. Melihat begitu pentingnya patriotisme dan nasionalisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak mengherankan jika kedua hal tersebut perlu ditanamkan pada seluruh komponen bangsa.

Implementasi yang dapat ditempuh untuk menanamkan jiwa patriotisme dan nasionalisme kepada Para siswa  di sekolah, diantaranya : Memelihara semangat, disiplin, tekad, dan meningkatkan partisipasi aktif dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan kebangsaan : misalnya peringatan hari besar nasional, meningkatkan disiplin nasional dan tanggung jawab sosial dalam rangka menumbuhkan sikap mental kesetiakawanan sosial, kerukunan, tenggang rasa, dan rasa tanggung jawab terhadap bangsa dan negara, melakukan pendidikan dan pelatihan dalam rangka meningkatkan kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara yang memiliki tanggung jawab.

Selain cara diatas,implementasi jiwa patriotisme dan nasionalisme dapat dilakukan dengan cara Pewarisan dan Keteladanan baik di lingkungan keluarga, masyarakat, dan sekolah.
Cara pewarisan dilakukan dengan mengadakan serangkaian kegiatan yang dapat menumbuh kembangkan jiwa patriotisme  dan nasionalisme pada siswa. Kegiatan tersebut seperti mengenal perjuangan tokoh-tokoh pahlawan, mengunjungi tempat-tempat bersejarah seperti museum, dan tapak tilas perjuangan bangsa.Sikap nasionalisme dan patriotisme hanya di dapat pada orang yang meletakkan nasionalisme dan patriotisme sebagai pedoman dalam bertingkah laku. Sikap tersebut perlu ditanamkan sejak dini. dan dapat diwujudkan di berbagai lingkungan, baik di sekolah, lingkungan keluarga, masyarakat maupun berbangsa dan bernegara. Sebagai Wujud sikap Patriotisme dan Nasionalisme di lingkungan keluarga : mendengarkan nasihat orang tua, membantu orang tua, menghormati dan menghargai orang tua, menjaga nama baik keluarga.

Wujud sikap Patriotisme dan Nasionalisme di lingkungan sekolah diantaranya : menghormati guru, mengikuti upacara bendera dengan baik, menjaga keamanan lingkungan kelas, melaksanakan tata tertib sekolah, dan lain-lain. Sedangkan wujud sikap Patriotisme dan Nasionalisme di lingkungan masyarakat, berbangsa, dan bernegara yakni : menghargai lagu kebangsaan, bangga memiliki kebudayaan nasional, menghormati bendera kenegaraan, mencintai produksi dalam negeri, berani membela kebenaran dan keadilan, menjaga dan melestarikan benda-benda bersejarah, dan menghormati jasa para pahlawan;

Dalam hal ini generasi sebelumnya memberikan keteladanan sikap hidup yang mencerminkan patriotisme dan nasionalisme. Keteladanan dapat diberikan di berbagai aspek lingkungan, seperti masyarakat, sekolah dan keluarga. Keteladanan di lingkungan keluarga biasanya diberikan oleh ibu, ayah, atau anak yang lebih tua. Contoh keteladanan di lingkungan keluarga: seorang kakak yang memberi teladan / contoh yang baik dalam hal kegiatan keagamaan. Keteladanan di lingkungan sekolah biasanya diberikan oleh Senior kelas, guru maupun kepala sekolah. Contoh keteladanan di lingkungan sekolah : Turut serta secara aktif pada gerakan pramuka. Keteladanan di lingkungan masyarakat biasanya diberikan oleh tokoh masyarakat. Contoh keteladanan di lingkungan masyarakat : Turut serta secara aktif pada gerakan gotong royong, bekerjasama, menolong sesama, dan lain-lain.

Sikap patriotisme para pembela tanah air yang seharusnya dimiliki siswa saat ini nampaknya sedikit menurun. Seharusnya siswa yang identik dengan sopan santun, pribadi yang tangguh dan di harapkan dapat membawa nama bangsa Indonesia menjadi harum di muka internasional. hal tersebut telah di corengkan oleh perilaku buruk siswa. Seperti yang banyak di saksikan di berbagai media pemberitaan, banyak sekali perilaku siswa yang tidak baik, seperti : Perkelahian antarsiswa, siswa yang menyontek ketika ulangan berlangsung, tidak tertib dalam pelaksanaan upacara bendera, siswa lebih menghafal dan menyukain musik-musik luar negeri di bandingkan dengan musik tradisional Indonesia, dan lain lain. Hal tersebut mencerminkan berkurangnya antusiasme para siswa terhadap kebudayaan dan kebangsaan Indonesia. Jika hal ini terus saja dibiarkan, bagaimana sikap patriotisme kepada tanah air tumbuh?.

Upaya sederhana yang dapat dilakukanuntuk dapat menumbuhkan sikap patriotisme siswa di sekolah, seperti : Mengikuti ekstrakurikuler, kebudayaan Indonesia yang ada, mengikuti olimpiade di tingkat nasional maupun internasional untuk membawa harum nama bangsa dan negara, menjadikan batik sebagai salah satu seragam sekolah yang juga mencerminkan pakaian tradisional Indonesia, dan lain lain.

Nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme dapat diterapkan dalam berbagai lingkungan kehidupan yang cakupannya meliputi bangsa dan negara. Bentuk paling menonjol dari penerapan nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme adalah berani berkorban untuk memajukan masyarakat, bangsa, dan negara. Hal ini berarti agar dapat menerapkan nilai nasionalisme dan patriotisme, seseorang harus mengutamakan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi maupun golongan. Melihat begitu pentingnya nasionalisme dan patriotisme bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak mengherankan jika kedua hal ini terus-menerus ditanamkan pada seluruh siswa di lingkungan sekolah.

Mengurai Benang Kusut Pendidikan

Mengurai Benang Kusut Pendidikan 

Pendidikan menjadi faktor yang sangat fundamental untuk kemajuan dan martabat bangsa. Salah satu indikator bangsa yang maju dan bermartabat adalah meningkatnya  angka partisipasi masyarakat dalam mengakses pendidikan secara merata dan menyeluruh.

Diharapkan dengan meningkatnya sumber daya manusia terdidik  akan mampu bersaing dengan bangsa lain dalam mengeksplorasi sumber daya yang tersedia
 sehingga menjadi masyarakat yang kuat, cerdas dan sejahtera serta mampu menjawab tantangan globalitas. Oleh karena itu, perhatian terhadap kualitas pendidikan  menjadi sebuah keniscayaan yang tidak  bisa ditawar-tawar lagi.

Kenyataannya, pendidikan kita belum mampu menjawab tantangan dan kebutuhan yang dihadapi masyarakat.  Data menunjukkan bahwa  indek  mutu pendidikan kita selalu menempati urutan-urutan terbawah. Misalnya, dilaporkan oleh  UNDP PBB pada 21 Maret 2017 di Stockholm tentang  indek pengembangan  manusia  (Human Development Index)  Indonesia hanya  mampu berada di posisi  ke-113 dari 188 negara di dunia pada tahun 2015. Berdasarkan survey  oleh Political and Economic Risk Consultant (PERC) dilaporkan bahwa  kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan terakhir dari 12 negara di Asia dan posisinya di bawah Vietnam. Lembaga penelitian asal Swiss International Institute for Management Development ( IMD) Tahun 2018, melaporkan Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-43 dari 63 negara. Masih menurut survey dari lembaga tersebut Indonesia hanya berpredikat sebagai  pengikut (follower) bukan sebagai pemimpin (leader)  teknologi dari 53 negara di dunia.

Memang sungguh ironis dan menyayat hati, era tahun 50-an Malaysia mengirimkan para mahasiswanya ke Indonesia atau mengimpor guru dari Indonesia. Tahun 2003 negara jiran tersebut sekarang menjadi tujuan studi bagi mahasiswa negara kita  bahkan menempati urutan ke 58 dari 175. Negeri jiran lainnya seperti Singapura, konon mencontoh konsep pendidikan yang dicetuskan oleh Bapak pendidikan kita Ki Hajar Dewantara dengan Tri Pusat Pendidikannya, mampu menempati urutan ke-28.  Memang lucu kedengarannya.

Sebenarnya, pada tataran praktis, pendidikan di negeri kita masih menyimpan setumpuk masalah yang perlu dibenahi dengan serius oleh  pihak yang berkepentingan terhadap nasib masa depan anak bangsa.

Sekolah  Untuk Siapa?

Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan pembelajaran yang layak dan terjangkau tanpa diskriminasi.  Mahalnya biaya pendidikan  saat ini menjadi kendala terutama bagi  masyarakat berkekurangan (miskin) yang merupakan mayoritas masyarakat kita. Sekolah dan perguruan tinggi berlomba-lomba  menaikan tarif biaya pendidikan di awal masuk  yang tidak terjangkau oleh masyarakat miskin.  Akibatnya, pendidikan yang berkualitas tinggi bagi orang yang memiliki akses ekonomi dan politik yang cukup. Sedangkan orang miskin walupun cerdas luar biasa hanya mampu berangan-angan. Meningkatnya angka putus sekolah salah satu akibat dari mahalnya biaya pendidikan. Benarkah orang miskin dilarang sekolah?

Ingin Pintar  Harus Bayar!

Pendidikan gratis! Ungkapan itu kedengarannya terlalu berlebihan, hanyalah jargon politik yang bertujuan untuk menarik simpati dan dukungan masyarakat. Meskipun tidak gratis yang penting dapat terjangkau oleh masyarakat. Tetapi kalau pemerintah bermaksud  memberikan akses pendidikan yang berkualitas  secara merata bagi seluruh warga negara, why not?

Jika pendidikan gratis, mengapa masih harus bayar SPP, uang pembangunan,  buku paket dan LKS, ujian, kesiswaan dan lain-lain. Ada sekolah yang tidak memungut biaya tersebut tetapi diganti dengan bentuk dan nama yang berbeda. Diharapkan tidak terulang kembali ada siswa ditahan gara-gara belum membayar  keuangan ujian nasional;  ijazahnya ditahan karena belum membayar biaya pendidikan. Tidak terdengar lagi ada siswa sampai gantung diri gara-gara malu belum bayar iuran kegiatan ektra kurkuler seperti  dilakukan Yanto, siswa SD dari Garut, atau ada yang nekad gantung diri gara-gara tidak mampu bayar SPP seperti Miftahul Jannah, bocah 13 tahun dari Geresik . Seharusnya biaya pendidikan dengan anggaran 20% dari APBN semakin menurun namun  program tersebut belum dapat dirasakan secara semestinya oleh rakyat.

Sekolahku Sayang, Sekolahku Malang

Ingat judul roman “Robohnya Surau Kami” karya Hamka, berubah menjadi “Robohnya Sekolah Kami” menginspirasikan penulis ketika melihat banyaknya gedung sekolah yang rusak dan roboh akibat bencana alam seperti banyak diberitakan media. Kerusakan paling parah terjadi pada tingkat SD dan MI. Sekolah yang roboh akibat banjir dan gempa mungkin bisa dimaklumi. Namun apabila sekolah roboh tak ada angin tak ada badai sungguh ajaib. Jadi patut dipertanyakan kekuatan kondisi bangunan yang belum direhab.

Dari data Balitbang Depdiknas (2003) disebutkan dari 146.052 SD dengan 865.258 ruang kelas, sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Tingkat kerusakan gedung MI diperhitungkan lebih tinggi lagi. Provinsi Jawa Barat pernah menjadi peringkat pertama di Indonesia yang memiliki jumlah sekolah  rusak terbanyak.  Hal ini berdampak pula terhadap rendahnya angka partisipasi pendidikan formal di Jawa barat.

Di samping kerusakan gedung dan kelas, sarana prasarana yang dimiliki sekolah seperti perpustakaan, laboratorium, media pembelajaran jauh tidak memadai menurut standar sekolah saat ini. Masih juga ditemukan banyak sekolah yang gedungnya masih numpang dan menjadi lahan sengketa; banyak  sekolah terutama SD proyek inpres atau SMP satu atap di bangun di tempat terpencil dari masyarakat dan biasanya dekat dengan kuburan sehingga dapat mengganggu kenyamanan pendidik dan peserta didiknya.  Kita hanya bisa berharap bantuan  pembanguan ruang kelas baru dapat memperkokoh gedung sekolah kita.

Bongkar Pasang Kurikulum

Pomeo mengatakan: “ganti menteri, ganti kebijakan dan ganti kurikulum” sedikit ada benarnya. Sejatinya, perubahan kurikulum dirancang untuk kepentingan masyarakat guna menyesuaikan diri dengan tuntutan kehidupan.  Tetapi, sebagai bagian strategis dari proses pendidikan, kurikulum hendaknya tidak mudah berganti sesuai dengan selera pejabat negara. Jika kurikulum terlalu sering berubah-ubah  dapat membingungkan para  pendidik; dan peserta didik  seolah-olah menjadi  kelinci percobaan  dalam implementasi kurikukum di sekolah.

Kebijakan mendiknas untuk memperbaiki mutu pendidikan nasional,- antara lain- dengan membenahi kurikulum. Namun rencana tersebut harus diikuti dengan ketersediaan sarana dan prasarana sesuai dengan standar pelayanan minimal sekolah supaya kurikulum dapat membumi.  Jika tidak, maka pejabat Negara bidang pendidikan berikutnya bakal “mengutak-atik” kurikulum tersebut.

Mungkin hanya Indonesia satu-satunya Negara yang dalam kurun waktu hampir bersamaan menggunakan tiga jenis kurikulum: kurikulum 1994, kurikulum 2004 (KBK) dan kurikulum 2006 (KTSP) sekarang.  Dengan adanya perbedaan kurikulum  untuk generasi yang hampir bersamaan, bisa dibayangkan bagaimana gamangnya arah dan visi pendidikan nasional kita ketika  aspek kesinambungan terabaikan. Hal ini merupakan tanda-tanda tidak ada perhitungan yang matang dalam hal kebijakan kurikulum selama ini. 

Bisa saja muncul anggapan bahwa perubahan kurikulum dari waktu ke waktu lebih bersifat proyek tanpa memperhatikan aspek urgensi, substansi dan implementasinya.  Analoginya mirip dengan terapi yang salah dalam mengobati penyakit, yang gatal kaki yang diobati kepala, lucu memang. Yang lebih lucunya lagi perubahan kurikulum menjadi ladang bisnis bagi pihak-pihak tertentu karena setiap kurikulum berubah  maka  buku ajar dan perangkat pembelajaranpun ikut berganti.

Profesionalisme Guru

Di negara-negara maju seperti Amerika, Inggris dan Jepang,  posisi guru menempati urutan pertama sebagai profesi yang diminati sebab sangat dihargai secara proporsional. Sedangkan di Indonesia menjadi guru merupakan pilihan terakhir setelah gagal mencari pekerjaan lain yang lebih baik. Hal ini terjadi pula di perguruan tinggi, bahwa animo masyarakat memilih fakultas keguruan masih di bawah fakultas teknik, ekonomi dan kedokteran. Lebih parah lagi,  image masyarakat terhadap profesi guru lebih rendah dibanding profesi lain yang lebih menjanjikan dapat menghasilkan uang. 

Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya. Pasal 39 UU No 20/2003 menyebutkan bahwa tugas guru adalah merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.

Di samping itu, masalah kelayakan mengajar, kesejahteraan dan penyebaran guru masih  menjadi  pekerjaan rumah bersama. 

Pertama, kelayakan mengajar itu berhubungan dengan tingkat pendidikan dan  bidang ilmu yang diperolehnya. Ditemukan banyak guru yang belum memenuhi persyaratan akademik (underqualified) yang semestinya, yaitu pendidikan diploma D4 atau Sarjana (S1) dan masih ditemukan banyak guru yang belum memiliki sertifikat pendidik sebagai syarat kelayakan sebagai tenaga pendidik.
Di samping itu, adanya ketidaksesuaian (mismatch) antara latar belakang keilmuan dengan mata pelajaran yang diampu. Padahal mereka tidak dbekali dengan teori-teori pegagogik yang memadai.

Kedua, rendahnya tingkat kesejahteraan guru  memengaruhi rendahnya kualitas guru dan pengajar. Dengan pendapatan yang rendah (low paid), terang saja, banyak guru terpaksa mencari nafkah sampingan untuk biaya hidup. Walaupun program sertifikasi guru dan dosen tengah diberlakukan, masih terjadi  kesenjangan kesejahteraan bagi  guru sekolah swasta untuk  mencapai taraf ideal karena yayasan tidak mampu menyesuaikan kesejahteraan guru/dosen sesuai dengan amanat undang-undang.

Ketiga, masalah penyebaran guru yang tidak proporsional di satu sekolah atau satu wilayah. Sering terjadi ketidakseimbangan jumlah guru di satu sekolah dengan sekolah lainnya. Guru dengan latar pendidikan tertentu bertumpuk di satu sekolah sedangkan di sekolah lainnya kekurangan. Hal seperti ini banyak terjadi terutama di sekolah-sekolah di pedesaan sehingga satu orang guru harus mengajar di beberapa kelas sekaligus dengan mata pelajaran  berbeda. Jika ini terjadi, sungguh tak bisa dibayangkan bagaimana kualitas proses pembelajaran peserta didiknya. Kesalahan ini terletak pada analisis pemetaan (mapping analysis) kebutuhan guru di suatu wilayah atau satuan pendidikan.

Ai riani sofah, S.Pd
Guru IPS MTs N 2 Tasikmalaya






BERUSAHA MENJADI GURU “CANTIK (Cerdas, Aktif, berNilai, Tulus, Inovatif, Kreatif)

BERUSAHA MENJADI GURU “CANTIK
(Cerdas, Aktif, berNilai, Tulus, Inovatif, Kreatif)
Oleh : Lilik Latipah, S.Pd, M.PKim
Guru di MAN 2 Tasikmalaya  dan 
MTs Alfalah Tanjungjaya
Guru merupakan salah satu faktor  yang paling penting dalam kemajuan dunia pendidikan. Bahkan saking pentingnya, guru bisa dikatakan penentu terbentuk dan berkembangnya suatu peradaban dalam hal mencetak generasi mendatang. Karena guru yang berkualitas akan menginisiasi dan menginspirasi lahirnya anak anak yang berkualitas pula.  Pertanyaannya sekarang? Guru yang seperti apakah yang demikian itu? Jawabannya adalah  guru yang professional.

Guru professional adalah guru yang totalitas dalam kegiatan mengajar dan mendidik siswa, memiliki rasa tanggung jawab dan peduli terhadap perkembangan akhlak, sifat dan intelektual siswanya, sehingga diharapkan siswanya senantiasa mengalami perkembangan menjadi lebih baik. Untuk mewujudkan guru yang professional itu tentu tidaklah mudah, memerlukan perjuangan berupa kemauan yang keras untuk senantiasa meningkatkan kualitas diri sepanjang masa. Dalam hal ini,  penulis rangkumkan kriteria guru professional itu adalah guru yang Cantik yaitu guru yang  Cerdas, Aktif, berNilai, Tulus, Inovatif, Kreatif.

Guru yang Cerdas. Untuk menjadi seorang guru yang cerdas tentunya harus memenuhi standar kualifikasi tertentu yang sudah diatur oleh pemerintah dalam  Undang Undang, seperti dalam hal pendidikannya harus minimal sarjana. Mengapa demikian? Kita tahu bersama, bahwa dalam proses belajar mengajar, tidak mungkin dilaksanakan asal jalan saja, tapi diperlukan pemikiran, keterampilan dan keahlian khusus, yang dalam hal ini bisa diperoleh guru melalui pendidikan yang ditempuhnya. Tentu saja dalam prakteknya, guru cerdas bukan hanya diukur dari cerdas intelektualnya semata, melainkan harus cerdas dalam berbagai hal. Misalkan cerdas dalam melatih emosi, cerdas dalam mengambil keputusan, cerdas dalam memahami kurikulum yang digunakan sebagai standar acuan pembelajaran, cerdas dalam menyelesaikan permasalahan yang timbul baik ketika proses belajar mengajar, atau dalam lingkungan sekolah dan masyarakat luar. Perlu kemampuan dan kesiapan yang matang dalam menghadapi semua ini.

Untuk menjadi guru profesional, tidak cukup hanya menjadi guru yang cerdas, tapi guru pun harus menjadi guru Aktif.
Guru yang Aktif senantiasa memiliki banyak ide baru dalam memberikan pelayanan yang terbaik untuk siswanya, oleh karena itu diperlukan wawasan, ilmu dan keterampilan setiap saat. Guru senantiasa mengupdatekan kemampuan dirinya dengan perkembangan zaman dan IPTEK, semua itu akan terwujud apabila guru tersebut aktif  baik dalam kegiatan kegiatan ilmiah, membaca informasi dari jurnal, Koran, buku atau mengikuti diklat lainnya yang menunjang terhadap kemajuan kualitas diri sebagai pendidik. Intinya, guru harus menjadi insan pembelajar sepanjang hayat.

Jika guru yang cerdas dan aktif telah terwujud, sekarang tinggal kemauan yang kuat dari guru tersebut untuk berubah menjadi lebih baik, memiliki semangat tinggi dalam mengabdikan dirinya bagi kemajuan siswa, sekolah dan masyarakat pada umumnya. Karena dalam hal ini, seberapa banyak pun ilmu yang  dimiliki, jika tidak dimanfaatkan, sia sialah ilmu tersebut. Ini artinya , guru sebagai pendidik harus memiliki Nilai manfaat, kompetensi sosial yang tinggi,  peduli dan bertanggung jawab terhadap kemajuan pendidikan dan moral  siswanya. Karena sebaik baik manusia, adalah yang banyak memberikan manfaat bagi sesama dan lingkungannya.

Kebermanfaatan inilah sebagai bentuk pengabdian seorang guru professional.
Dalam perjalanan pengabdiannya itu, guru akan menjadikan sekolah sebagai rumah keduanya, mengingat sebagian besar waktu para guru dan siswa habis di sekolah. Karena itu, begitu kuat, ingatan para siswa terhadap gurunya. Salah satu hal yang sangat membekas dalam ingatan siswa adalah jika seorang guru mengajar dan mendidik anak didiknya dengan Tulus.

Seorang guru yang  bekerja karena panggilan jiwa, hatinya selalu tergerak untuk memberikan layanan pembelajaran dan teladan yang terbaik  untuk para siswanya, semangat yang tertanam selalu tinggi, maka semua rintangan apapun akan dapat dilaluinya. Intinya, guru professional itu harus memiliki kompetensi kepribadian yang utuh, sehingga guru bekerja bukan sekedar  melaksanakan tugas semata, tetapi sampai pada panggilan hati nurani yang berdasarkan pada cinta kasih sesama yang semuanya dilakukan berdasarkan ketulusan hati mereka, yang nantinya selain akan mencetak  generasi yang cerdas intelektualnya, juga terampil dan berkualitas akhlaknya, itulah yang dinamakan guru yang Tulus.

Guru yang tulus selain memiliki ketulusan dalam mengajar, dia juga selalu antusias untuk belajar bagaimana cara mengajar yang tepat dalam kegiatan pembelajaran. Sehingga setiap siswa yang memiliki cara berbeda dalam belajar dapat terakomodasi. Untuk mewujudkan semua itu, maka guru perlu berinovasi dalam membuat media dan strategi pembelajaran yang bervariasi. Dengan seringnya guru membaca, mengikuti diklat kependidikan, workshop, maka semakin kayalah ide nya. Dari Hal ini  diharapkan guru menjadi lebih inovatif.

Selain bisa berinovasi, guru pun harus kreatif dalam mengemas skenario pembelajaran di kelas dengan siswa supaya tercipta suasana belajar yang kondusif dan menyenangkan. Dengan menjadi guru kreatif, maka guru akan menemukan keunikannya tersendiri. Guru harus berani tampil beda, tentunya tampil beda yang positif agar mampu menjadi guru kreatif yang menginspirasi. Guru kreatif selalu berfikir keras untuk menciptakan ide ide baru dalam mengelola pembelajaran yang baik, memiliki keterampilan manajemen kelas yang baik pula. Selain kreatif dalam menyajikan suasana pembelajaran, guru kreatif pun selalu berusana menjalin hubungan  komunikasi yang berkualitas dengan siswanya. Sehingga terjalin rasa saling hormat menghormati, senang, dan membangun hubungan yang dapat dipercaya. Itulah sekilas gambaran kriteria guru professional, yang penulis rangkum menjadi Guru yang “CANTIK”. Semoga kita sebagai pendidik senantiasa berikhtiar menjadi guru yang Profesional (Cerdas, Aktif, berNilai, Tulus, Inovatif, Kreatif).

Menulis Itu Tidak Perlu Belajar, Tetapi Belajarlah Menulis

Menulis Itu Tidak Perlu Belajar, Tetapi Belajarlah Menulis!
Oleh : Ujang Kusnadi *


"Menulis itu Tidak perlu belajar, tetapi belajarlah menulis" Ungkapan ini lahir ketika saya masih kuliah. Sekedar mengenang masa lalu pada masa-masa akhir kuliah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, sekitar tahun 2004 silam.

Pada waktu itu banyak teman-teman yang meminta saya untuk mengerjakan tugas akhir skripsi mereka,  entah mengapa mereka percaya sama saya, mungkin karena kebetulan di antara mahasiswa satu kelas  yang pertama menyelesaikan tugas akhir adalah saya.

Saya tanya mereka mengapa tidak dikerjakan sendiri itu kan tugas akhir?  Jawaban mereka polos "bingung"  "tidak bisa menulis", Kata saya : "bingung kenapa? tidak bisa menulis kenapa?, apa tidak bisa mengetik? sudah banyak kan tukang rental".

"Bingung dari mana memulainya, bingung isinya bagaimana" Bingung menulis kalimatnya" Jawab teman saya. Bahkan ada yang datang-datang langsung menangis, "kenapa?  Ini skripsi dicoret-coret sama Dosen Pembimbing saya jadi bingung dan males melanjutkannya". Mungkin masih banyak ungkapan-ungkapan lain berkaitan dengan perjuangan mengerjakan tugas akhir pada waktu itu.

Wajar memang, karena pada zaman dahulu kala belum ada fasilitas Internet seperti sekarang. Butuh waktu, tenaga,  pemikiran dan biaya untuk mendapatkan hasil tulisan atau karya ilmiah yang bagus, harus rajin ke perpustakaan, buka katalog, mencatat point-point penting, bahkan mengcopynya. Setelah itu kita pahami betul-betul isinya kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan. Untuk menuangkan dalam bentuk tulisan pun pada waktu itu masih serba terbatas, ditulis dalam lembaran kertas folio dulu baru diketikan ke rental komputer. Karena pada saat itu, jangankan laptop, komputer pun belum familiar di kalangan Mahasiswa. Tak ada budaya copy paste pada waktu itu, semunya dikerjakan dengan murni dan manual. Kalau sobat yang membaca tulisan ini mengalaminya, berarti kita sezaman

Karena banyak teman-teman yang meminta mengerjakan tugas akhirnya, saya tidak bisa menyanggupinya, hanya satu atau dua orang saja yang saya bantu sampai benar-benar selesai. Saya hanya bisa membantu teman-teman lain dengan memberikan motivasi dengan kata-kata seperti ini : Udah kamu nulis az dulu jangan banyak takut salah, takut ga nyambung... takut dicorat-coret dosen pembimbing, tulis az dulu apa yang ada dalam pikiranmu!" Jangan halangi dengan ketakutan, keraguan sehingga tidak satu pun yang kau tuliskan.... Ini lah yang dimaksud "Menulis itu tidak Perlu Belajar, tapi belajarlah menulis"

Begitu juga dalam dunia tulis menulis di media atau karya ilmiah lainnya, banyak orang yang merasa tidak bisa menulis, takut salah, takut jelek, takut ga nyambung, akhirnya tak ada satupun karya tulisannya. Padahal untuk menjadi penulis yang bagus caranya adalah dengan menulis dan menulis, bukan sebatas belajar bagaimana menulis yang baik. Banyak orang hanya berteori tapi tak ada satupun hasilnya..

Bagi saya menulis bukan mengharap penilaian orang bagus atau tidak, kalau dalam istilah medsos like or dislike melainkan catatan kehidupan dan pemikiran saya sebagai catatan sejarah pribadi. Harapan tentu ada bahwa ulisan saya ini dapat memberikan manfaat bagi yang membacanya, kalau tidak sekarang siapa tahu nanti, kalau tidak oleh orang lain siapa tahu bermanfaat buat anak cucu kita nanti. Kalau dalam Jargon majalah Bina Dakwah : "Nunda Ayeuna Keur Jaga" atanapi "Nulis ayeuna kanggo aoseun jaga"

Bagus atau tidaknya tulisan bukan terletak pada tulisannya, tetapi sejauh mana pembaca bisa memahami maksud tulisannya. Karya Kahlil Gibran pun penyair tingkat dunia dalam bukunya "Sayap-sayap Patah" kalau sekilas membacanya, tidak akan mengatakan tulisan atau karyanya bagus. Tetapi jika dibacanya oleh yang sedang jatuh cinta,dengan mata dan perasaan, maka karya ini sungguh luar biasa.

Tulisan ini bukan tulisan yang lahir dari seorang penulis profesional, melainkan sebuah tulisan yang lahir dari seorang penulis yang sedang belajar menulis.

Menulislah tidak perlu takut, karena ketakutan tidak akan menambah umurmu!.  Menulislah dengan keberanian, karena keberanian pun tidak akan mengurrangi umurmu. Jatah umur semua sudah ada yang mengatur, isinya tergantung pada seberapa banyak amaliyah atau karya kita termasuk menulis. Cag.

Walllohu A'lam

* Guru yang sedang Belajar Menulis

RATAPAN SANG HAMBA

Ratapan Sang Hamba

Wahai sang penggenggam alam
Aku tau kau sedang berang
Melihat tingkah yang ga kepalang
Hingga aku dibuat meradang

Kau timpakan pesan yang bertubi-tubi
Tapi aku tak jua mengerti
Maka pantaslah kau bermuram durja
Hingga kau jadikan tanahku bagai neraka

Kau ingatkan aku dari udara
Daratan kau putar balikan
Hantaman kau kirimkan dari lautan
Tapi aku tak bergeming

Semua murkamu ku anggap biasa
Bagai air mengalir begitu saja
Walau korban berjuta-juta
Tapi ku anggap permainan belaka

Wahai sang maha segala-gala
Sudikah kau maafkan dosa hamba
Yang begitu nista penuh hina
Agar kau kembali seperti sediakala

RahmatMu sangat ku nantikan
HidayahMu sangat aku harapkan
Tak ingin lagi ku dihancurkan
Sebab aku tak sanggup lagi bertahan

#ANN
#29102018: 20 10'

Agus Nana Nuryana, M.M.Pd.
Insan yang selalu berusaha menjadi
manusia pembelajar



PENTINGNYA PENDIDIKAN KARAKTER

Pentingnya Pendidikan Karakter

Agus Nana Nuryana, M.M.Pd.
Staf Pengajar Matematika
pada MTs Cijangkar Ciawi
Suatu saat, ketika masuk ke tempat fasilitas umum, tampak pemandangan yang kurang sedap.

Betapa tidak, saya berfikir memang kita semua perlu menyadari betapa pentingnya pendidikan karakter.

Ternyata masyarakat kita belum bisa melakukan kebiasaan yang baik walaupun hal yang harus dilakukannya sangat mudah, seperti menyimpan sampah pada tempatnya pun belum banyak masyarakat yang bisa melakukannya, padahal fasilitas ada di depan mata.

Mereka seolah tidak merasa risih dan bersalah kalau berlaku seenaknya tanpa memperhatikan aturan yang berkaitan dengan etika ataupun estetika.

Pekerjaan yang seharusnya mereka lakukan sebenarnya tidak sulit, sangat mudah untuk dilakukan, namun tak ada kesadaran dalam diri mereka untuk berprilaku yang seharusnya dan sepantasnya.

Saya meyakini bahwa yang mengunakan fasilitas umum itu adalah orang dewasa yang semestinya tahu mana hal yang baik dan mana yang buruk. Dan semestinya mereka dapat berprilaku yang seharusnya mereka lakukan, namun lagi-lagi karena tidak adanya kesadaran sehingga mereka berprilaku seenaknya yang menurut mereka itu adalah hal yang biasa dan tidak menggangu.

Pendidikan karakter memang sangat diperlukan dalam hal ini untuk memberikan kesadaran supaya manusia bisa berprilaku layaknya manusia yang beradab. Terkadang kita sering menyepelekan hal-hal yang kecil yang menurut mereka tidak begitu berpengaruh terhadap hal yang lain, padahal tidak ada yang besar kalau tidak ada yang kecil.

Kalau di Belanda para guru lebih menghawatirkan para peserta didiknya tidak bisa ngantri dibanding dengan bisa matematika, bagaimana dengan di negara kita? Padahal di sana mungkin masyarakatnya tidak memperdulikan ajaran agama sebagai tuntunan dalam hidupnya.

Menurut mereka belajar matematika itu para peserta didik bisa belajar tiga bulan saja secara intensif, sedangkan mengajarkan anak untuk memiliki karakter yang baik itu harus dilakukan terus-menerus dan memerlukan tahunan bahkan puluhan tahun.

Pendidikan karakter memang harus mulai diajarkan sejak dini agar anak bisa terbiasa melakukan hal yang semestinya atas kesadaran bahwa perilaku itu harus dilakukan.

Pendidikan karakter menjadi tanggung jawab bersama tidak hanya guru di sekolah/madrasah, namun semua elemen masyarakat harus ikut terlibat dalam pelaksanaanya, mulai dari orang tua yang harus memberikan pendidikan karakter kepada anak-anaknya di rumah tangga.

Begitupun masyarakat dan pemerintah harus juga ikut terlibat dalam pendidikan karakter, sebab karakter suatu bangsa akan menentukan maju mundurnya sebuah negara.

Kita patut mencontoh negara tetangga kita yang sudah maju seperti Jepang, Tiongkok, Korea Selatan dan negara maju lainnya yang ternyata mereka sangat menjunjung tinggi budaya atau karakter bangsanya yaitu disiplin dalam berbagai bidang.

Budaya disiplin ini sudah tertanam dalam diri bangsa mereka sejak nenek moyangnya dan keturunannya masih tetap mempertahankan dari generasi ke generasi sehingga negara mereka bisa maju seperti saat ini.

Tidak mudah memang mengubah masyarakat yang sudah terbentuk karakter yang sudah melekat dan membudaya dalam diri seseorang, namun bukan berarti tidak bisa diubah. Dengan semangat dan tujuan yang sama, kalau masyarakatnya bersatu dan memiliki kesadaran untuk berubah ke arah yang lebih baik, maka itu bisa dilakukan.

#saveourgeneration


OPTIMALISASI PERANAN MGMP

OPTIMALISASI PERANAN MGMP
Oleh : Heti Sugiarti, M.Pd* 


Tujuan  pendidikan yang ingin dicapai yaitu terbentuknya manusia yang berkualitas. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan berbagai usaha untuk peningkatan pendidikan. Salah satu yang menjadi unsur terpenting adalah guru, sehingga harus diusahakan dapat meningkatkan profesionalismenya. Undang- undang No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mempersyaratkan guru untuk: Memiliki kompetensi yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional; Memiliki Sertifikat Pendidik; sehat jasmani dan rohani; serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan Pendidikan Nasional.

Dengan berlakunya undang-undang ini diharapkan memberi kesempatan kepada guru untuk meningkatkan profesionalismenya misal melalui pelatihan, penulisan karya ilmiah. Musyawarah guru mata pelajaran memiliki peranan penting dalam mendukung profesional guru. Profesionalisme tidak hanya karena faktor tuntutan dari perkembangan zaman, tetapi pada dasarnya juga merupakan suatu keharusan bagi setiap individu, dalam perbaikan kualitas hidup manusia. Profesional menuntut keseriusan dan kompetensi yang memadai, sehingga seseorang dianggap layak untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai seorang guru.

Dari  pandangan tersebut, guru memerlukan suatu wadah organisasi, untuk saling bertemu, dan berbagi pengalaman, serta menukar ilmu pengetahuan, untuk kepentingan pengajaran, baik di dalam kelas, maupun dalam lingkungan sekolah/madrasah, organisasi ini dinamakan dengan MGMP.

Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) merupakan suatu organisasi guru yang dibentuk untuk menjadi forum komunikasi yang bertujuan untuk memecahkan masalah yang dihadapi guru dalam menghadapi tugasnya sehari-hari. Dengan terbentuk dan terealisasinya  program MGMP yang terstuktur dan sistematis, senantiasa akan merujuk pada peningkatan kompetensi dan profesionalisme guru. Di samping itu, guru akan terbantu dalam pengumpulan angka kredit untuk Pengembangan Keprofesionalan Berkelanjutan (PKB),  sebab mutlak dalam kenaikan pangkat yang harus dilaksanakan guru. Keberhasilan penyelenggaraan pendidikan sangat ditentukan sejauhmana kesiapan guru dalam mempersiapkan peserta didiknya melalui kegiatan pembelajaran.

Peranan MGMP dalam pengembangan program pendidikan di sekolah/madrasah sangat penting, karena ini merupakan wadah kegiatan profesional guru, dalam meningkatkan pengetahuan, kemampuan dan keterampilan. Selain itu, untuk mengatasi permasalahan yang ada dan berkembang di sekolah/madrasah. Adapun Tujuan  diselenggarakannya MGMP diantaranya adalah:

  1. Menumbuhkan kegairahan guru untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam menjalankan tugas guru.
  2. Meningkatkan  kemampuan dan kemahiran guru, dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran.
  3. Menampung segala permasalahan yang dialami oleh guru, dalam melaksanakan tugas sehari-hari, dan mencari cara penyelesaiannya yang sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, guru, sekolah/madrasah, dan lingkungannya;
  4. Membantu guru memperoleh informasi teknis edukatif, yang berkaitan dengan kegiatan, kebijakan pengembangan kurikulum, dengan mutu pelajaran yang bersangkutan;
  5. Untuk saling tukar informasi, pengalaman, dalam rangka mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengembangan teknik mengajar. 
Upaya yang dapat dilakukan oleh kita sebagai agen pembelajar dan anggota MGMP adalah mengoptimalkan diri dengan mengikuti berbagai program dalam setiap ramuan kegiatan yang direncanakan dan dilaksanakannya. Langkah ini perlu dilakukan karena tugas utama MGMP adalah mendorong lahirnya guru yang profesional sehingga pembelajaran yang dilaksanakan memiliki kesejalanan dengan regulasi yang berlaku. Langkah kearah pelahiran guru profesional dengan campur tangan MGMP sangat dibutuhkan, sehingga MGMP menjadi organisasi yang efektif, yang berkontribusi positif terhadap keberhasilan tujuan pendidikan.
Wallohu a’lam Bishowab.
 
* Guru MTsN 4 Tasikmalaya

GURU HEBAT ADALAH GURU MULIA

GURU HEBAT ADALAH GURU MULIA
Oleh : HENDAR, S.Pd., M.Si*
Guru Bahasa Indonesia MTs. Negeri 3 Tasikmalaya


Menjadi seorang guru telah dicontohkan oleh Alloh SWT dalam Alquran Surat Albaqarah ayat 31 : dan dia mengajarkan kepada Adam AS nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar orang-orang yang benar”

Seorang guru dalam bekerja selalu di gugu dan di tiru, guru sebagai panutun siswa dalam segi nilai moral bahkan kebiasaan, selain itu tingkah lakunya menjadi panutan bagi semua orang, inilah yang menjadi nilai lebih dibandingkan dengan profesi lain, benar-benar istimewa dan luar biasa bekerja sebagai guru, maka sangat pantas dikatakan guru hebat karena mulia melaksanakan tugas dan profesinya.

Guru adalah seorang pendidik, pembimbing, dan pendorong yang mulia serta berjasa untuk bangsa ini, karena gurulah yang bertanggung-jawab mendidik untuk mencerdaskan anak-anak bangsa Indonesia serta membina dan menerapkan karakter terpuji di setiap langkah dan arah kehidupan anak didiknya.

Guru atau pendidik mempunyai tugas dan tanggungjawab yang cukup berat, sehingga mejadi guru bukanlah profesi yang sembarangan, ditangan para guru masa depan anak didik dipertaruhkan. Guru adalah orang yang memberi pengetahuan kepada anak didiknya. Semua  orangtua akan membutuhkan guru untuk memberikan ilmu sebagai bekal masa depan terhadap anak-anaknya.

Menjadi seorang guru adalah pekerjaan yang paling mulia daripada pekerjaan yang lainnya, karena kemuliaan seorang guru adalah sosok yang berperan penting untuk memberikan bekal anak didik dalam meraih masa depannya. Hal yang tidak mudah menjadi guru adalah menjalankan tugasnya untuk mengubah anak didik yang bodoh menjadi orang yang cerdas, mengubah yang tadinya tidak tahu menjadi tahu merupakan tugas mulia yang diemban dari seorang guru.

Kedudukan guru merupakan kedudukan yang dihormati sebagai pendidik di dalam keilmuan sehingga menjadi penyemangat dan inspirasi bagi muridnya untuk memilih bidang pekerjaan yang akan ditekuninya di masa depan, karena di tangan guru lah masa depan anak-anak berada, banyak tokoh-tokoh besar di dunia siapapun itu, mereka tidak akan seperti itu kalau bukan dari seorang guru yang hebat.

Guru akan bangga jika anak didiknya bisa merubah kebiasaan buruk menjadi kebiasaan yang baik dan anak didik yang bisa melampaui batas perkembangannya, karena jika guru bisa merubah anak didik akan memiliki rasa bangga dan tanggung jawab yang baik, karena ia telah berhasil berbuat sesuatu yang berguna bagi semua anak didik dengan keilmuannya.

Menjadi guru harus ikhlas mengajarkan ilmu dengan penuh kasih sayang dan cinta serta selalu sabar dalam membimbing kita walau hanya sekedar untuk membaca, menulis dan berhitung, karena dengan keikhlasan dan kasih sayang guru dalam mengajarkan sebuah ilmu kepada siswa membuat kita terkenang dan menjadi amal kebaikan yang akan dicatat sebagai bekal hidup kita di akhir nanti, serta menjadi seorang guru bisa memotivasi dan mendorong siswanya untuk dapat meraih cita-cita yang diimpikan dalam pembelajaran setiap harinya. Selain itu jadilah seorang guru yang bersikap baik sesuai etika dan kode etik guru serta berakhlak baik didasasri dengan ikhlas karena Alloh agar menjadi guru sebagai "uswatun khasanah" atau suri tauladan yang baik untuk anak-anak didik dan masyarakat. Itulah yang sebenarnya dari guru yang hebat dan mulia.



*NAMA LENGKAP  : HENDAR, S.Pd., M.Si,  TEMPAT, TGL LAHIR  : TASIKMALAYA, 27-02-1976, NIP: 197602272007101002 PANGKAT, GOLONGAN : PENATA TK. 1, III/d JABATAN  : GURU MUDA TUGAS UTAMA   : GURU BAHASA INDONESIA INSTANSI TEMPAT TUGAS    : MTs. NEGERI 3 TASIKMALAYA NO HP/WA  : 085315221516
E-MAIL                     : hendar_suganda76@yahoo.com













Memaknai Hari Sumpah Pemuda

Memaknai Hari Sumpah Pemuda
(Benarkah Kita Sudah Merdeka)

Oleh: Agus Nana Nuryana, M.M.Pd.


Kemerdekaan sejatinya adalah kebebasan, tanpa kemerdekaan manusia akan sulit melakukan apa yang dikehendakinya, sungguh sangat mahal harga dari sebuah kemerdekaan.
Demi mendapatkan kedaulatan, orang rela mengorbankan apa saja. Harta, pikiran, bahkan nyawa sekalipun. Tak peduli apakah dengan pengorbanannya dia akan menikmati kebebasannya tersebut atau tidak.

Segala upaya dilakukan untuk terbebas dari jerat belenggu, tidak mudah memang, namun ini harus tetap dilakukan demi menebus sebuah keinginan yang didapatkan yaitu kemerdekaan.
Situasi akan menggiring manusia untuk melakukan apa yang mereka inginkan, apalagi kalau yang diinginkan itu adalah suatu yang sangat berharga bagi mereka.
Meskipun darah harus mengalir, harta harus lenyap, bahkan nyawa harus melayang sebagai taruhannya, semua itu tak menjadi kendala sebab tekad telah menyatukan niat dengan hasil yang mereka inginkan.

Bangsa Indonesia telah merdeka secara de facto sejak 73 tahun yang lalu. Kemerdekaan ini didapatkan dengan sangat susah payah. Bahakan hampir 350 tahun rakyat Indonesia berjuang demi meraihnya.

Bukan waktu yang sebentar kedaulatan itu kita dapatkan, berbagai pengorbanan sudah dilakukan. Rakyat Indonesia bahu membahu, saling dukung. Tua muda, rakyat biasa dan priyayi, bersatu bersama berjuang sesuai kemampuan dan kapasitasnya masing-masing tanpa pamrih dan tanpa mengenal lelah.

Termasuk perjuangan para pemuda didalamnya yang dengan semangat dan jiwa muda yang menggebu, mereka bersatu padu berjuang dengan segenap kemampuan dan pikiran yang mereka curahkan sepenuhnya demi tercapainya kemerdekaan bangsa Indonesia.
Perjuangan para pemuda yang begitu gigih ini tidak sedikit mendapat tantangan dari para penjajah, bahkan dari kalangan mereka sendiri yang diuntungkan oleh penjajah dan tidak mau Indonesia merdeka karena mereka sudah mendapatkan zona nyaman dalam kehidupannya walaupun negaranya terjajah.

Dan puncak dari perjuangan mereka dideklarasikan tepat tanggal 28 Oktober 1928. Para pemuda dari seantero Nusantara berkumpul untuk menyatukan tekad dan keinginan agar Indonesia terbebas dari belenggu penjajahan.

Persatuan ini tidak mengenal ras, suku, keturunan, status sosial, pendidikan dan lain sebagainya. Mereka semua membulatkan tekad untuk mencapai satu tujuan yang sama yaitu: bertanah air satu tanah air Indonesia, berbangsa satu yaitu bangsa Indonesia dan berbahasa satu bahasa Indonesia.
Kesamaan tujuan tersebut menguatkan persatuan mereka sehingga negara Indonesia sedikit demi sedikit berubah tegak menjadi bangsa yang kuat dan pada puncaknya berkat perjuangan seluruh rakyat Indonesia termasuk para pemuda didalamnya, pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan bangsanya yang sampai saat ini kita sepakati sebagai hari kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajahan untuk selamanya.

Sungguh berat ujian bangsa Indonesia untuk mendapatkan kemerdekaan, bahkan setelah menyatakan Indonesia merdeka para penjajah baik bangsa asing maupun dari kalangan bangsa sendiri masih saja melakukan usaha untuk merorong dan merebut kembali kemerdekaan Indonesia.
Harga yang sungguh sangat mahal yang harus ditebus oleh bangsa Indonesia untuk mendapatkan yang namanya kemerdekaan.

Saat ini kita yang hidup setelah zaman penjajahan semestinya memanfaatkan moment ini untuk betul-betul mengisi kemerdekaan untuk pembangunan dan kemakmuran bangsa Indonesia. Kita harus bersatu padu membulatkan tekad untuk bisa mempertahankan dan mengisi kemerdekaan ini dengan sekuat tenaga agar Indonesia menjadi negara maju dan berdaulat dalam segala hal sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh para pejuang bangsa ini.

Keadaan bangsa Indonesia saat ini yang sedang gonjang-ganjing dalam segala hal, semestinya kita membuat kita semua merefleksi diri dan berfikir apakah bangsa kita saat ini sudah benar-benar merdeka sesuai dengan yang diharapkan.

Sebagai bangsa yang besar kita tidak boleh melupakan jasa para pejuang dan pahlawan yang sudah rela mengorbankan segala hal demi tercapainya kemerdekaan ini.
Perbedaan dalam segala hal pasti ada dan terjadi, namun perbedaan itu semestinya saling menguatkan bukan malah saling menghancurkan satu sama lain.

Mari kita belajar kepada para pejuang bangsa ini yang dengan rela saling mengalah, saling menghargai dan saling menghormati demi mencapai satu tujuan suci yaitu kedaulatan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Nyatanya kehidupan akan terus berlanjut, dan kita tidak tahu apakah negara kita ini akan terus selamanya bisa menikmati kemerdekaan seperti yang saat ini kita rasakan. Kalau kita semua tidak pandai menjaga dan mengisinya bukan tidak mungkin negara kita akan kembali dijajah secara fisik seperti zaman sebelum kemerdekaan dapat diraih, naudzubillahimindalik.
#SelamatHariSumpahPemuda
#28Oktober2018
#TerusJayaIndonesia

Paradigma Pendidikan yang Cerdas dan Berkarakter


IHWAL PENDIDIKAN YANG CERDAS
Oleh: Eneng Sri Supriatin
(Bening Kusumaningtiyas  Az-Zahra)*

Pendidikan merupakan faktor mendasar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan yang bagaimanakah? Yaitu pendidikan yang mencerminkan citra diri yang berakhlakul karimah. Disisi lain fenomena zaman sekarang, kecerdasan intelektual lebih mendominasi dibanding dengan kecerdasan emosional (spiritual) yang dituju. Kecerdasan intelektual ini sangat didambakan sekaligus diimpikan oleh setiap orang yang sedang menempuh dunia pendidikan. Mereka saling berambisi tidak ayal saling beralibi memengaruhi satu dengan  lain agar memperoleh kecerdasan sempurna dengan nilai tertinggi. Sungguh luar biasa kredibilitas ini mempertontonkan pergulatan dalam dunia pendidikan yang menyiratkan persaingan. Hal tersebut sangat menginspirasi para pelaku pendidik untuk memunculkan paradigma positif tentang alur pendidikan yang sesuai dengan pedoman hidup kita Alquran, dibanding nilai-nilai mendasar dibalik makna pendidikan sebenarnya.
Di dunia pendidikan hal yang terpenting adalah bagaimana peran guru sebagai sentral dalam pembelajaran. Guru harus menjadi pendidik yang bisa memberikan pengajaran supaya anak mau belajar, serta dapat menumbuh kembangkan rasa cinta dan keikhlasan diantara sesama. Rasa seperti itu akan muncul jika dirinya pribadi (self-oriented) memiliki karakter yang mencerminkan sifat-sifat tersebut terhadap peserta didik. Guru tersebut menjadi panutan yang paling utama. Dalam memberikan pembelajaran, guru tidak perlu dengan emosi negatif, melainkan  harus ada sinergi antara kecerdasan intelektual dengan kecerdasan emosional. Sesuai dengan pendidikan yang diajarkan dalam Ayat Al-quran yang artinya ”Dan (Ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”(Qs Luqman:13). Dari ayat tersebut dapat kita ambil pokok pikiran sebagai berikut:1) orang tua wajib memberi pendidikan kepada anak-anaknya, sebagaimana tugasnya, mulai dari melahirkan sampai akil balig, 2) prioritas pertama adalah penanaman akidah dan akhlak, sebagai kerangka dasar atau landasan dalam membentuk pribadi anak yang soleh, 3) dalam mendidik hendaknya menggunakan pendekatan yang bersifat kasih sayang, sesuai makna seruan Lukman kepada anak-anaknya, yaitu “Yaa Bunayyaa” (Wahai anak-anakku), seruan tersebut menyiratkan muatan kasih sayang atau sentuhan kelembutan dan kemesraan, tetapi dalam koridor ketegasan dan kedisplinan, bukan berarti mendidik dengan keras. Selanjutnya dalam Al-quran Qs. Ar-Rahman: 1-4 yang artinya: “(Rabb) Yang Maha Pemurah. Yang telah mengajarkan Al Qur’an. Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara /AI-Bayan”.
Kaitan kedua ayat di atas dengan subjek pendidikan adalah sebagai berikut: Kata Ar-Rahman menunjukkan bahwa sifat-sifat pendidik adalah murah hati, penyayang dan lemah lembut, santun dan berakhlak mulia kepada anak didiknya dan siapa saja yang menunjukan profesionalisasi pada kompetensi personal. Seorang guru hendaknya memiliki kompetensi paedagogis yang baik sebagaimana Allah mengajarkan Al-quran kepada Nabi-Nya. Al-quran menunjukkan sebagai materi yang diberikan kepada anak didik adalah kebenaran ilmu dari Allah. Keberhasilan pendidik adalah ketika anak didik mampu menerima dan mengembangkan ilmu yang diberikan, sehingga peserta didik menjadi generasi yang memiliki kecerdasan spiritual dan kecerdasan intelektual, sebagaimana penjelasan Al-Bayan. Maka dari itu kutipan Al-quran tersebut, apabila dimaknai secara implisit menjelaskan bahwa pendidikan sebenarnya pendewasaan diri tentang mengkaji diri dan mengaji rasa yang harus diimplementasikan oleh para pendidik dalam mengembangkan keilmuannya. Tuntutan ini harus diyakini sebagai jembatan  sepenuh hati agar proses pendidikan yang bertujuan ingin mencerdaskan kehidupan bangsa terwujud dengan menghasilkan kecerdasan emosional disamping kecerdasan intelektual. Sesuai dengan pendapat Goleman dalam Surya bahwa konsep kecerdasan emosional sebagai sumber keunggulan seseorang (2015:76). Hal senada pula diungkapkan oleh Surya, Muhamad bahwa kecerdasan emosional ini merupakan keterpaduan antara unsur emosi dan rasio dalam keseluruhan perilaku individu yang akan mengendalikannya ke arah yang lebih bermakna dalam proses kelangsungan hidup (2015:76).
Beberapa contoh pedidikan yang tidak dilandasi oleh kecerdasan emosional (spiritual) dapat kita lihat pada kasus-kasus yang terjadi di lingkungan pendidikan baik di media masa ataupun di media internet. Kasus penyiksaan dengan motif orientasi pengenalan kampus yang dilakukan siswa maupun mahasiswa. Fakta ini bisa kita lihat pada kasus  terbunuhnya siswa SMA Taruna Nusantara Magelang, Jawa Tengah yang menerapkan seleksi ketat bagi siswa baik akademik maupun kejiwaan, namun character values siswanya rapuh. Kemudian kasus Mapala UNISI Universitas Islam Indonesia (UII) di desa Tlogodringo Tawangmangu Jakarta Tengah yang menewaskan tiga orang peserta. Belum lagi kasus para penguasa yang berlaga di panggung politik dengan unjuk gigi demi terwujudnya  ambisi pribadi. Lalu kasus anak SD yang dicabuli pendidik ataupun sebaliknya. Yang seharusnya pendidik sebagai motivator kearah kesuksesan dunia dan akhirat, malah sebaliknya. Itu semua cerminan dunia pendidikan dan aplikasi di lapangan yang saling bertolak belakang tanpa ada dasar yang kokoh.
Dengan demikian, pendidikan adalah sesuatu yang lebih banyak ditujukan kepada perbaikan mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan, baik bagi keperluan diri sendiri maupun orang lain. Pendidikan agama sangat berperan penting dalam pembinaan moral dan akhlak untuk memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan keyakinan akan agama dalam perilaku sehari-hari. Tetapi, pendidikan selain agama pun harus terus di integrasikan dengan konteks karakter yang dapat memunculkan kecerdasan emosional. Contohnya pendidikan sastra harus sampai dapat memunculkan nilai karakter atau kecerdasan emosional dalam pribadi peserta didik, yang nantinya teraplikasikan dalam diri masing-masing individu. Oleh karena itu, pendidikan agama harus dilaksanakan melalui semua guru, orang tua dan pihak masyarakat yang mempunyai perhatian dalam keimanan, amal soleh, moral serta cara berpikir. Maka dari itu kecerdasan emosional sangat memengaruhi pencapaian perilaku peserta didik dalam mengarungi bahtera kehidupan ini. Konsep ini memuat sebuah bukti empiris dengan melakukan pembelajaran, penelitian, dan percobaan dengan menggunakan akal untuk sampai kepada simpulan tidak ada yang kekal di dunia ini, dan bahwa di balik peristiwa dan ciptaan itu, wujud satu kekuatan dan kekuasaan yang Maha Besar. Pemikiran ini adalah tujuan akhir dari semua yang dikerjakan oleh setiap manusia baik pendidik maupun peserta didik agar menjadi manusia cerdas. Selamat mengajar![]

* Eneng Sri Supriatin, S.Pd., dengan nama penanya Bening Kusumaningtiyas Az-Zahra Ibu dari tiga orang anak ( Naila Zahra R, M. Rizky Ramadhan R dan Beryl Hamizan R ), lahir di Tasikmalaya pada tanggal 18 Desember 1980. Alumni Universitas Siliwangi (UNSIL) Kota Tasikmalaya. Karya sajak dan cerpen sempat termuat di surat Kabar Priangan, di rubrik Budaya dan HU. Pikiran Rakyat, di rubrik Khazanah. Adapun Antologi bersama yang sudah terbit “Kampung Bulan”,Indonesia dalam Titik 13,dan “Antologi Puisi 100 Penulis Perempuan KPPI. Belajar menulis secara tidak langsung kepada kang Acep Zamzam Noor. Sempat aktif di UKM Teater 28. Sebagai guru Bahasa dan Sastra Indonesia di Madrasah Aliyah Negeri 1 (MAN) Sukamanah Sukarapih Sukarame Singaparna-Tasikmalaya dan kini tercatat sebagai mahasiswi Program Bahasa dan Sastra Indonesia Pascasarjana IPI Garut.


Followers